PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Di meja dagangan yang berkisar ukuran 60x20 centimeter terpampang tempurung kelapa. Pengunjung car free day (CFD) sesekali bertanya lalu membelinya.
Tempurung kelapa, ditelungkupkan mengarah ke bawah. Sehingga semakin menarik perhatian pengunjung CFD untuk mendekat. Saat di balik isinya ada yang dominan putih, cokelat dan putih bercampur warna kecoklatan.
Warna cokelat tersebut bukan cokelat. Melainkan olahan gula aren. ‘’Untuk yang putih dinamakan kue talam, yang cokelat bernama kue apam dan yang bagian pinggirnya putih dengan warna cokelat di tengah dinamakan kue mangkok,’’ ucap penjual kue tradisional, Radiantoni.
Katanya, bahan-bahan kedua jenis kue tersebut sangat mudah didapat. Untuk kue talam terbuat dari ubi dengan sedikit tambahan bumbu dapur seperti garam. Sehingga rasanya asin.
Kemudian, untuk kue mangkok, bahan dasarnya terbuat dari tepung beras dan gula aren. Saat mengadonpun harus dipisah. Sementara untuk kue apam bahannya terbuat dari tepung beras dan gula aren. Katanya, yang membedakan adonannya dicampur.
Lebih lanjut, usai adonan selesai, baik kue talam, apam dan kue mangkok dicetak menggunakan media tempurung. Adonan dituang ke dalamnya. Selanjutnya dikukus di dandang yang dapat memuat sebanyak 30 biji.
‘’Kue-kue tersebut akan matang selama 30 menit. Mengukusnya pun dengan kayu bakar, sebab lebih cepat dan tidak banyak biaya. Dibanding dengan gas, yang memakan waktu selama satu jam,’’ jelasnya.
Pasangan suami istri tersebut melakoni pekerjaan sebagai penjual kue sejak tiga tahun terakhir. Usahanya diturunkan dari keluarga Radiantoni yang berada di Sumatera Barat.
‘’Dari situlah saya belajar menekuni usaha keluarga. Sehingga bisa dijualbelikan di Pekanbaru serta tetap menjaga keutuhan kue tradisional Indonesia,’’ paparnya.
Pun dalam seharinya ia bisa menjual kue sebanyak 200 hingga 300 tempurung. Sementara saat CFD membawa sebanyak 700 tempurung. ‘’Omzetnya kalau sehari bisa mencapai Rp700 ribu, kalau CFD mencapai Rp1,5 juta,’’ terangnya.(*3)