JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Perum Bulog menjalankan komitmennya untuk terus menyerap produksi beras dalam negeri. Langkah itu diambil untuk mengamankan cadangan beras pemerintah (CBP) pada kisaran 1,5 juta ton. Bulog ingin menjamin ketersediaan stok beras bagi masyarakat agar tidak perlu mengimpor pada tahun ini.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso melaporkan bahwa saat ini stok beras mencapai 1.395.376 ton. Sampai 17 Mei, CBP tercatat 1.378.047 ton. Sementara itu, cadangan beras komersial berkisar 17.329 ton. Buwas, sapaan Budi Waseso, menyatakan bahwa Bulog masih akan menyerap beras dalam negeri sampai Juni nanti.
"Bulog mungkin juga akan menyerap beras lagi pada Agustus sampai September, saat panen gadu. Sehingga, target CBP sebanyak 1,5 juta ton akan terpenuhi," ujar Buwas, Selasa (18/5). Sementara itu, realisasi pengadaan gabah dan beras dalam negeri mencapai 670.961 ton.
Buwas juga menyinggung soal 412 ribu ton beras yang turun mutu. Beras-beras itu masih tersimpan di gudang Bulog. Menurut dia, keputusan terhadap beras yang turun mutu tersebut berada di tangan pemerintah. "Sudah dua kali rapat koordinasi terbatas, belum ada keputusan soal penanganan beras turun mutu," ungkapnya.
Buwas menyampaikan bahwa Bulog telah mengambil beberapa langkah untuk merawat beras yang turun mutu tersebut. Dia menyatakan, ada sebagian yang masih layak dikonsumsi. Oleh karena itu, Bulog menawarkan opsi pencampuran (blending) dengan beras baru. "Tapi, keputusannya apa, kami belum tahu. Karena ini beras pemerintah, ya tunggu pemerintah, jadi tunggu keputusan pemerintah," tegasnya.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menanggapi upaya Bulog dalam mengamankan CBP. Menurut dia, ada peluang untuk menjaga stok pada angka yang diharapkan pemerintah. "Dengan asumsi volume penyaluran sebesar 80.000 ton setiap bulan dan stok sampai akhir Juni berada pada angka 1,5 juta ton, Bulog masih bisa jaga stok pada kisaran 1 juta ton sampai akhir tahun," bebernya.
Khudori menilai bahwa realisasi impor beras harus dikaji dengan mempertimbangkan kondisi dan waktu yang tepat. Paling penting, pemerintah harus lebih dulu melihat realisasi penyerapan Bulog. Selain itu, pemerintah perlu melihat realisasi produksi serta potensi produksi ke depannya. "Idealnya, pada rentang Juli sampai September, sudah bisa diputuskan apakah perlu impor atau tidak,"ujarnya.
Khudori menambahkan bahwa menjadikan stok beras Bulog sebagai satu-satunya indikator tidaklah tepat. Saat ini indikator dari sisi harga dan produksi menunjukkan adanya gangguan pasokan beras.(agf/c12/hep/jpg)