JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wacana penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium (RON-88) secara bertahap mulai 1 Januari 2021 mendatang menuai pro dan kontra. Salah satunya ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Dia mengutarakan, wacana penghapusan BBM Premium hanya satu formalitas. Di mana dalam beberapa tahun terakhir stok BBM premium sulit ditemukan di sejumlah SPBU. Dia menilai, kelangkaan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah mengalihkan konsumsi masyarakat dari premium ke Pertalite dan Pertamax.
"Faktanya Premium kan sudah sangat sulit ditemukan di SPBU. Tanpa wacana penghapusan Premium pun, diam-diam Pertamina memaksa masyarakat memakai Pertalite dan Pertamax," ujar Bhima, Ahad (15/11/2020).
Situasi ini sudah berlangsung beberapa tahun terakhir dengan dalih masyarakat mampu menggunakan BBM nonsubsidi. Imbasnya, kata dia, daya beli masyarakat sudah terdampak sejak Premium sulit ditemukan.
"Jadi rencana penghapusan BBM Premium itu sekadar formalitas," katanya.
Di tempat terpisah, pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus mantan anggota Tim Anti Mafia Migas, Fahmy Radhi, mengatakan, penghapusan Premium merupakan keputusan sangat tepat.
Namun, penghapusan BBM Premium pada masa pandemi Covid-19 akan semakin memperberat beban masyarakat karena konsumen harus migrasi ke Pertamax yang harganya lebih mahal. Apalagi, masyarakat pengguna BBM Premium merupakan konsumen terbesar kedua setelah konsumsi Pertalite.
Karena itu, dalam upah meringankan beban masyarakat, penghapusan BBM di bawah RON-91 harus disertai dengan penurunan harga Pertamax RON-92 bagi PT Pertamina (Persero). Masih ada ruang untuk menurunkan harga BBM pertamax.
Terlebih, tren harga harga minyak dunia masih cenderung rendah, rata-rata di bawah 40 dolar Amerika Serikat (AS) per barel dan Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan sebesar 40 dolar AS per barrel.
"Saatnya bagi pemerintah menghapus BBM Premium dan menurunkan harga BBM Pertamax dalam waktu dekat," katanya.
Tepatnya langkah penghapusan Premium karena jenis BBM ini termasuk BBM beroktan rendah yang menghasilkan gas buang dari knalpot kendaraan bermotor dengan emisi tinggi tidak ramah lingkungan hingga membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
"Jenis BBM dengan emisi tinggi termasuk tidak ramah lingkungan hingga membahayakan bagi kesehatan masyarakat," ujar Fahmy.
Selain beremisi tinggi, pengadaan impor BBM Premium berpotensi memicu moral hazard yang menjadi sasaran empuk bagi mafia migas berburu rente. Dia bilang, sejak beberapa tahun lalu, BBM Premium sudah tidak dijual lagi di pasar internasional, sehingga tidak ada harga patokan.
Pengadaan impor BBM Premium juga dilakukan dengan blending di Kilang Minyak Singapura dan Malaysia yang harganya bisa lebih mahal. Tidak adanya harga patokan bagi BBM Premium berpotensi memicu praktik mark-up harga yang menjadi lahan bagi mafia migas untuk berburu rente tersebut.
Sumber: Antara/News/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun