JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Belum sepekan Peraturan Presiden 64 Tahun 2020 diundangkan, sudah ada yang mengajukan gugatan. Di sisi lain, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diatur dalam Perpres 64/2020 bisa diganti dengan mengoptimalkan cara lain. Salah satunya menagih tunggakan mereka yang tidak bayar.
Advokat sekaligus pengacara M Sholeh memasukkan gugatan terhadap Perpres 64/2020 ke Mahkamah Agung kemarin (15/5).
"Hari ini (Jumat, red) kami mengajukan JR melalui PN Surabaya, di mana sudah pernah dibatalkan MA pada 27 Februari kemarin tetapi sayangnya pemerintah membuat perpres baru," jelas Sholeh.
Dia membenarkan kalau jumlahnya mungkin lebih rendah daripada perpres sebelumnya. Kenaikan tidak sampai 100 persen. Namun, menurutnya langkah pemerintah menaikkan kembali iuran juga tidak elok dan tidak peka dengan situasi masyarakat saat ini yang kesulitan ekonomi.
Kemudian, dia juga menyayangkan substansi perpres yang sebenarnya sama saja dengan Perpres 75/2019.
"Pada saat pemerintah membuat perpres yang substansinya sama, maka ini sama saja pemerintah melecehkan MA yang sudah membatalkan perpres sebelumnya," lanjut Sholeh.
Dengan kedua landasan tersebut, Sholeh berharap MA dapat segera menangani gugatan JR tersebut dan kembali membatalkan perpres yang dinilai merugikan masyarakat.
"Mohon dukungannya supaya tidak sampai tanggal 1 Juli 2020, MA sudah membuat keputusan pembatalan," ujarnya.
Sementara itu, DPR terus mendesak Pesiden Jokowi untuk membatalkan Perpres Jaminan Kesehatan. Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR RI mengatakan, ada empat alasan kenapa perpres itu harus dibatalkan.
Pertama, kata Saleh, perpres itu dinilai tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR. Padahal, dewan telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di komisi IX dan rapat-rapat gabungan komisi IX bersama pimpinan DPR.
Menurut Wakil Ketua Fraksi PAN itu, jika merujuk pada Pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal itu mengamanatkan dua hal. Yaitu, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, kalau sudah dibatalkan, maka tidak boleh dibuat lagi.
"Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran," terang dia.
Alasan kedua, tutur Saleh, pemerintah dapat dinilai tidak patuh pada putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Bisa jadi orang berpendapat bahwa dengan menerbitkan perpres baru yang juga berisi tentang kenaikan iuran BPJS, pemerintah dianggap menentang putusan peradilan. Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.
Sejak awal, Komisi IX menilai belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah. Aneh sekali, lanjut dia, ketika pandemi Covid-19, pemerintah malah menaikan iuran.
"Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat di mana-mana sedang kesusahan," tutur dia.
Wakil Ketua MKD itu mengatakan, keluarnya perpres semakin mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi. Karena itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan.
Alasan ketiga, keluarnya perpres diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Pasalnya, masyarakat banyak sekali yang berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA. Namun kenyataannya, pemerintah malah kembali menaikkan.
Jika iuran naik, bisa saja masyarakat akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran. Bahkan, bisa saja orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri.
Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini.
"Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS," urai mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Sementara alasan keempat, tutur Saleh, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam perpres dinilai belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Apalagi, kenaikan iuran itu belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pascakenaikan. Patut diduga bahwa kenaikan iuran hanya menyelesaikan persoalan keuangan BPJS sesaat saja.
Jika nanti perpres digugat lagi ke MA, lalu MA konsisten dengan putusan sebelumnya yang menolak kenaikan iuran, maka itu akan menjadi preseden tidak baik.
"Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dipastikan akan turun," ungkapnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar juga membeberkan ada berbagai cara lain agar iuran tak naik. Dalam paparan rancana anggaran kegiatan tahunan (RKAT) di tahun ini, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Adanya putusan MA maka, maka target tersebut direvisi sehingga jadi Rp132 triliun.
"Pemerintah sudah tambah Rp3 triliun bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk Covid-19. Penerimaan jadi Rp135 triliun," ujarnya.
Pendapatan BPJS Kesehatan masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun lebih. Dengan catatan pemda membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Pepres No. 82 tahun 2018.
Sementara beban biaya, jika berkaca tahun lalu hanya Rp108 triliun. ”Kalau pun naik 10 persen di 2020 maka beban biaya jadi Rp118,8 triliun. Ditambah utang BPJS ke RS RS di 2019 yaitu Rp15 triliun. Ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp5 triliun,” ungkap Timboel. Dari analisa biaya yang dilakukan Timboel, seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp1,7 triliun.
Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di RS dan mengawasi puskesmas dan klinik. Belum lagi kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya Rp3,4 triliun.
"Bila pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 tentang Sanksi Tidak Dapat Layanan Publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatah,"katanya.
"Lalu kalau kita sandingkan isi Perpres 64 ini dengan UU SJSN maka sangat kasat mata perpres ini bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS," bebernya.
UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin, tapi di Perpres 64 ini peserta mandiri kelas 3 yang juga mampu disubsudi oleh pemerintah. Cara yang paling tepat bagi Timboel adalah lakukan cleansing data PBI. Bila memang penghuni kelas 3 mandiri miskin ya masukkan saja ke PBI, sementara yang mampu bayar sendiri tanpa subsidi.
"Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, Bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan," imbuhnya. (mar/jpg)