PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merupakan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi struktural, deregulasi, dan debrikoratisasi, yang pada akhirnya akan dapat mempercepat perluasan lapangan kerja bagi masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Ada tiga hal yang diberi apresiasi oleh masyarakat dan lembaga internasional dalam Indonesia menangani Covid-19 yaitu terkait dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter, reformasi struktural. Salah satunya adalah melalui UU Cipta Kerja dan Online Single Submission (OSS)," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika menjadi keynote speech dalam acara Bincang Stranas PK: OSS yang bertajuk Inikah Jawaban Pencegahan Korupsi dalam Perizinan Berusaha, yang dilakukan secara virtual, Selasa (14/12).
Pada saat UU Cipta Kerja disusun, regulasi mengalami obesitas dengan jumlah sebanyak 43.604 peraturan yang terdiri dari peraturan tingkat pusat dan peraturan tingkat daerah. Obesitas regulasi tersebut menyebabkan inefisiensi birokrasi yang menjadi faktor utama masalah dalam berusaha di Indonesia, sebagaimana hasil survei World Economic Forum (WEF) Executive Opinion Survey tahun 2017.
Pemerintah bersama dengan stakeholder terkait perlu mengimplementasikan atau mengoperasionaliasikan UU Cipta Kerja yang telah mengubah secara fundamental konsepsi perizinan berusaha yang semula berbasiskan izin (license approach) ke berbasis risiko (risk based approach) dengan pengawasan yang konsisten oleh Pemerintah.
Operasionalisasi UU Cipta Kerja tetap sejalan dengan Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku dan dengan demikian, maka seluruh materi dan substansi serta peraturan pelaksanaan Cipta Kerja masih tetap berlaku baik di pusat maupun di daerah, termasuk operasionalisasi perizinan berusaha yang pelakanaannya telah diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2021 Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP Nomor 6 Tahun 2021 Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.
Dalam PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko memberikan kemudahan perizinan berusaha untuk setidaknya 1.349 kegiatan usaha. Setiap kegiatan usaha tersebut dilakukan analisa risiko dengan mengacu pada risiko kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan serta mempertimbangkan besaran dari skala usaha, sehingga menghasilkan sejumlah 2.165 tingkat risiko.
Dari 2.165 tingkat risiko tersebut, tercatat risiko rendah sebanyak 32,3 persen, risiko menengah rendah sebanyak 19,8 persen, sedangkan risiko menengah tinggi sejumlah 26,8 persen, dan risiko tinggi sebanyak 21,1 persen. Secara agregat, risiko rendah dan menengah rendah merupakan mayoritas 52,1 persen, yang pada umumnya berada pada kegiatan usaha yang diminati oleh UMKM dan relatif lebih cepat untuk operasionalisasi usaha karena cukup hanya mendaftar NIB dan/atau self-declare untuk memenuhi standar-standar di kemudian hari.
Pemerintah juga telah mengidentifikasi sejumlah 1.211 Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PBUMKU) yang secara berkala dan berkelanjutan akan terus dilakukan penyederhanaan."Kementerian Investasi/BKPM dapat terus mendorong seluruh perizinan yang sifatnya online," ujar Menko Airlangga.
Adapun pelaksanaan PP Nomor 6 Tahun 2021 adalah untuk memastikan agar Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serta Dinas Teknis lainnya dapat melayani pengajuan perizinan berusaha berbasis risiko melalui sistem OSS secara cepat, sederhana, dan pasti.
"Pemerintah mencatat bahwa beberapa hal yang diperlukan antara lain penyempurnaan sistem terus- menerus yang berbasis komunikasi dengan seluruh stakeholder, dan juga kita melihat bahwa proses yang cepat, sederhana, pasti, hal ini akan mendorong kepastian di bidang investasi," ujar Menko Airlangga.(ifr)
Laporan EKA GUSMADI PUTRA, Pekanbaru