PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan dan Perkebunan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja akan segera disahkan. Jika tidak ada perubahan draft maka nantinya akan berdampak luas pada perkebunan sawit terkhusus yang masih dalam kawasan hutan.
Bahkan, program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang menjadi andalan Presiden Joko Widodo guna mendorong produksi di sektor hulu sawit rakyat, juga terancam gagal akibat RPP tersebut. "Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja (CK) Bidang Kehutanan yang telah dibahas pemerintah mengandung banyak masalah," ujar ucap Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung, Kamis (14/1).
"Hasil analisis yang kami lakukan, sejumlah masalah mendasar yang harus menjadi perhatian karena berpotensi menganaktirikan dan merugikan petani sawit rakyat di berbagai daerah di seluruh Indonesia," tambahnya.
Hal yang paling mendasar yang menjadi permasalahan dalam RPP tersebut, menurut Gulat, adalah mengenai penetapan kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. Sementara, mayoritas petani sawit swadaya justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas. "Setelah saya pelajari statistik kehutanan sebetulnya sederhana solusinya. Ditetapkan saja "Luas Hutan = Luas Kawasan hutan" selesai persoalan," ujarnya.
"Sebagai catatan, saat ini kawasan hutan 131.6 juta hektare terdiri atas hutan sebesar 93.9 juta hektare dan nonhutan sebesar 34.7 juta hektare. Pada nonhutan inilah kebun sawit rakyat berada yang diklaim dalam kawasan hutan. Jika luas kawasan hutan disamakan dengan luas hutan yakni 94.9 juta hektare, maka klaim dalam kawasan hutan tidak ada lagi. Perlu dicatat, FAO hanya mengakui luas hutan dan tidak mengenal istilah kawasan hutan," tambahnya.
Luas kebun petani secara nasional dalam kawasan hutan yang mencapai seluas 2,73 juta hektare, menurutnya jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang. Dan akan menimbulkan dampak sosial yang sangat besar bagi Indonesia.
Dikatakannya, menurut data KLHK pada Desember 2020, Riau merupakan provinsi terparah, dari total 4,02 juta hektare sawit di Riau, sebanyak 2,7 juta hektare dikelola oleh petani dan dari 2,7 juta hektare tersebut, 1,6 juta hektare (61 persen) dalam kawasan hutan. Sedangkan luas perkebunan sawit korporasi di Riau mencapai 1,4 juta hektare, hanya 33 ribu hektare yang dalam kawasan hutan (2,24 persen).
"Jadi tidak benar isu yang beredar selama ini yang mengatakan bahwa 1,2 juta hektare sawit di Riau dalam kawasan hutan milik korporasi. Fakta dari data KLHK bahwa petanilah sesungguhnya. Lalu kenapa bisa begini? Jawaban sederhana bahwa selama ini tidak ada yang mengurusi legalitas petani sawit, sementara korporasi lengkap dengan tim legalnya. Lalu siapa yang mau disalahlan," ujar Gulat.
Sementara di sisi lain, UU Cipta Kerja hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. "Kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup. Apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan," tegasnya.
Prof Dr Budi Mulyanto, Akademisi dari IPB mengatakan petani sawit sudah melakukan apa yang tidak terjangkau oleh pemerintah. "Membangun dari pedesaaan jauh di ujung keramaian dan tidak terjangkau oleh apapun yang namanya APBN dan APBD. Mereka adalah bagian semangat Jokowi dengan slogan Nawacita. Jangan malah terpinggirkan oleh RPP UU Cipta Kerja ini," pintanya.
Oleh karena itu, dirinya mendukung supaya Apkasindo langsung saja menemui Presiden. "Ego sektor masing-masing kementerian masih sangat tinggi, lihat saja di pasal-pasal RPP tersebut, tidak saling berhubungan masih sendiri-sendiri, jauh dari roh UU Cipta Kerja yang dikenal dengan omnibuslaw, harapan Presiden di UUCK jauh dari apa yang ada dalam RPP UUCK. Ini persoalan hajat hidup Petani sawit di 134 kabupaten/kota se-Indonesia," ujar Prof Budi yang juga anggota Tim Serap Aspirasi RPP UUCK.
Sementara itu, pakar Perhutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo meminta agar pemerintah segera membuat pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu. Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. "Biar petani bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)," katanya.(izl)