JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tujuh bulan sudah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mencatat surplus. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pada Juli 2022, APBN tercatat surplus Rp106,1 triliun (0,57 persen terhadap PDB).
Surplus APBN itu terjadi karena penerimaan negara yang tembus Rp1.551 triliun atau tumbuh 50,3 persen (YoY). Sementara, realisasi belanja negara mencapai Rp1.444,8 triliun. "Coba kita lihat pada Juli tahun lalu defisit Rp336,7 triliun. Jadi, kalau tahun lalu defisit, sekarang kita masih surplus Rp106,1 triliun. Itu pembalikan lebih dari Rp340 triliun hanya dalam 12 bulan. Ini yang patut kita syukuri,"ujarnya pada konferensi pers, Kamis (11/8).
Tahun ini pemerintah menargetkan defisit mencapai 3,92 persen. Sebagaimana diketahui, dalam Perpres 98/2022, defisit APBN 2022 semula dirancang senilai Rp868 triliun atau 4,85 persen PDB. Kini defisit itu diturunkan menjadi hanya Rp840 triliun atau 4,5 persen PDB. Menurut outlook pemerintah, perkiraan realisasi hingga akhir tahun bahkan hanya Rp732,2 triliun atau 3,92 persen PDB. "Defisit APBN pada akhir tahun bisa jadi lebih rendah dari Perpres 98/2022,"kata Ani, sapaan Sri Mulyani.
Dari sisi pendapatan per Juli 2022, Ani menyebutkan, ada pertumbuhan hingga 50,3 persen yang ditopang penerimaan perpajakan. Penerimaan negara yang cemerlang itu dipicu booming harga komoditas unggulan Indonesia di pasar global. Misalnya, batu bara, nikel, hingga kelapa sawit.
Lebih terperinci, penerimaan negara dari pajak tercatat Rp1.028,5 triliun atau tumbuh 58,8 persen dari target. Dari realisasi penerimaan ini, kontribusi dari kenaikan harga komoditas sebesar Rp174,8 triliun. "Penerimaan pajak ditopang harga komoditas yang tinggi,"ungkapnya.
Chief Economist Citi Helmi Arman menyatakan, Indonesia cukup kuat menghadapi gejolak pelemahan perekonomian global. Faktor pertama, RI merupakan eksportir komoditas energi terbesar. Mulai minyak mentah, minyak kelapa sawit, batu bara, hingga logam dasar. "Di kawasan Asia tidak banyak. Hanya Indonesia dan Malaysia,"jelasnya.
Faktor kedua, meningkatnya market share ekspor Indonesia ke negara besar, terutama Tiongkok. Helmi mengungkapkan, saat ini banyak investasi asing ke sektor logam dasar tanah air. Misalnya, nikel yang kini sudah mulai diproduksi dan berkontribusi 70 persen terhadap produksi dunia.
Nilai transaksi ekspor yang lebih besar daripada nilai impor membuat neraca perdagangan Indonesia pada Januari–Juni 2022 secara keseluruhan surplus 24,89 miliar dolar AS. (dee/han/c14/dio/jpg)