SAMARINDA (RIAUPOS.CO) -- Bisnis kelapa sawit diprediksi kembali mencatatkan kinerja apik sepanjang tahun ini. Sebab, pemerintah memastikan tetap menggencarkan program mandatori biodiesel dan permintaan dari Cina serta India mulai pulih.
Pergerakan harga crude palm oil (CPO) tercatat meningkat signifikan pada pengujung tahun 2020. Secara tahunan, harga internasional dan domestik CPO masing-masing tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 31,71 persen (year on year/yoy), dan 20,89 persen (yoy). Kondisi ini membuat harga tandan buah segar (TBS) di level petani menyentuh level tertinggi Rp1.924 per kilogram (kg).
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, penyebab peningkatan harga CPO, yakni adanya peningkatan permintaan global serta adanya fenomena La Nina yang mengancam produksi. Dia menjelaskan, di bulan-bulan terakhir tahun lalu harga minyak sawit mentah meroket tinggi. Bahkan menjadi harga tertinggi yang dimiliki minyak sawit enam tahun terakhir.
Harga referensi CPO pada Desember lalu tercatat sebesar 870,77 dolar AS per ton. Harga tersebut meningkat dibandingkan harga rata-rata bulan sebelumnya yang mencapai 656-738 dolar AS per metrik ton. "Peningkatan harga CPO ini akan terus berlanjut hingga awal tahun ini," tuturnya, Senin (11/1).
Menurutnya, permintaan ekspor saat ini juga mulai pulih. Memasuki kuartal III 2020 permintaan pasar kembali normal, didukung oleh pemulihan ekonomi yang terjadi setelah Covid-19, terutama di Cina dan India. Tingginya permintaan CPO akan berdampak besar terhadap harga CPO yang berujung pada peningkatan harga TBS di tingkat petani.
Harga CPO disebutnya punya waktu peningkatan. Penurunan pasti terjadi, tapi peningkatan juga pasti ada. Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa mendongkrak penguatan harga sawit, yaitu permintaan dari Cina, India, dan program biodiesel dari Indonesia.
India dan Cina merupakan konsumen utama minyak kelapa sawit dunia. Kedua negara itu juga menjadi tujuan utama ekspor CPO Kaltim. "Kita terus berusaha melakukan ekspansi pasar. Perluasan permintaan akan membuat harga CPO semakin tinggi," jelasnya.
Kendati demikian, dia meminta Kaltim tidak boleh terlalu terlena dengan ekspor mentah. Biodiesel dan industri hilir lainnya juga harus bergerak cepat di Kaltim. Artinya tidak hanya bisa ekspor CPO, namun juga harus ekspor turunan CPO. "Dengan begitu, fluktuatif harga bisa dihindari. Agar harga CPO bisa lebih stabil, sehingga harga TBS di tingkat petani juga bisa stabil," terangnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM melalui Direktorat Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) menetapkan besaran harga indeks pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel yang dicampurkan ke dalam bahan bakar minyak selama Desember 2020 sebesar Rp9.505 per liter atau naik Rp176 per liter dari November, yaitu Rp 9.329 per liter.
"Besaran ini belum termasuk biaya ongkos angkut di masing-masing titik serah," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Komunikasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi.
Selain biaya ongkos yang besaran maksimalnya diatur, sambung Agung, besaran HIP disusun berdasarkan formula dari besaran konversi CPO menjadi biodiesel sebesar 85 dolar AS per MT dengan faktor konversi sebesar 870 kg per m3. "Ini tertuang dalam Kepmen ESDM No 182 K/10/MEM/2020 yang dikeluarkan pada bulan September lalu," jelasnya.
Ketentuan HIP BBN jenis biodiesel ini efektif berlaku mulai 1 Desember 2020. HIP BBN sendiri ditetapkan setiap bulan dan dilakukan evaluasi paling sedikit enam bulan sekali oleh Direktur Jenderal EBTKE.
Kementerian ESDM juga telah menetapkan volume alokasi BBN jenis biodiesel di tahun 2021 sebesar 9,2 juta kiloliter (kl). Besaran tersebut akan digunakan untuk pencampuran biodiesel sebesar 30 persen ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis solar (B30).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menjelaskan adanya penurunan dalam penetapan alokasi di tahun ini dibandingkan tahun 2020. "Penurunan tersebut disebabkan dampak pandemi Covid-19 yang diperkirakan masih berlanjut tahun 2021," kata Dadan.
Pertimbangan tersebut berkaca dari realisasi penyaluran biodiesel di tahun 2020. Hingga akhir Desember 2020, proyeksi realisasi hanya sebesar 8,5 juta kl atau 88 persen dari target yang ditetapkan sebesar 9,6 juta kl. "Penyebab terjadi penurunan sebesar 12 persen salah satunya pandemi Covid-19 dan terjadinya gagal suplai beberapa Badan Usaha BBN dalam penyaluran biodiesel," jelasnya.(ctr/ndu2/k15/das)
Laporan JPG, Samarinda