JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Setelah terpuruk pada 2020 yang terkontraksi -2,07 persen, kini pertumbuhan ekonomi RI pelan-pelan merangkak naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi RI pada 2021 tumbuh mencapai 3,69 persen. Sementara itu, kuartal IV 2021 sebesar 5,02 persen.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto cukup percaya diri pada kondisi pertumbuhan 2022. Dia berharap, pada kuartal I, pertumbuhan ekonomi RI bisa di atas 5 persen. "Tentu kita melihat bahwa pertumbuhan di kuartal pertama tahun lalu itu masih minus 0,7 persen. Dan tentu kita berharap bahwa di kuartal pertama tahun ini kita bisa dorong di atas 5 persen," tuturnya.
Menurut Airlangga, laju ekonomi pada tiga bulan pertama akan berpengaruh pada realisasi kuartal II 2022 yang akan didorong momentum Ramadan dan Idulfitri. Kemudian, dorongan program PEN juga disebutnya akan membawa andil. "Untuk penanganan pasien itu sekitar Rp32,96 triliun, walaupun tentu akibat Delta kemarin masih ada yang carryover yang besarnya sekitar Rp23,6 triliun, ada program perlindungan masyarakat Rp154,8 triliun dan penguatan pemulihan ekonomi sebesar Rp178,3 triliun," katanya.
Mengapa jasa keuangan menjadi satu-satunya sektor lapangan usaha yang terkontraksi? Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, jasa keuangan, khususnya bank dan multifinance, masih menghadapi tekanan dari sisi penurunan pendapatan bunga.
Sebab, bunga kreditnya mulai turun mengikuti penurunan bunga acuan. "Bank juga harus menyisihkan modal untuk pencadangan antisipasi lonjakan non-performing loan (NPL) alias rasio kredit bermasalah seusai restrukturisasi kredit," tuturnya.
Selain itu, pengoperasian bank selama pandemi ikut terganggu. Meski biaya sewa kantor dan pengadaan barang bisa dihemat, di sisi lain pengeluaran untuk transisi ke digital terbilang mahal. "Investasi digitalisasi perbankan tidak murah. Satu aplikasi saja bisa puluhan miliar rupiah," ujarnya.(dee/bil/han/c12/dio/jpg)