JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Berbagai paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah dalam beberapa tahun terakhir untuk menarik investasi asing belum berjalan efektif. Meski kemudahan berusaha atau ease of doing business Indonesia mengalami perbaikan, saying, hal itu tidak diikuti dengan peningkatan realisasi investasi asing secara signifikan.
Peneliti INDEF Ariyo Dharma Pahla Irhamna menyatakan, pertumbuhan realisasi investasi asing pada periode 2015-2018 hanya 3 persen. "Di sisi lain, banyak investasi yang masuk tidak berkualitas. Mayoritas investasi yang masuk ke Indonesia didominasi perusahaan yang market-seeking dan resource-seeking," jelasnya dalam diskusi di Jakarta, kemarin (4/8).
Selain karena jumlah populasi Indonesia dan ketersediaan sumber daya alam, hal tersebut disebabkan cara BKPM dalam melakukan promosi. Yakni, menonjolkan Indonesia sebagai negara dengan populasi yang banyak dan ketersediaan SDA yang melimpah.
"Dampaknya, banyak investasi asing di Indonesia yang masuk justru menambah barang impor. Sebab, praktik investasinya lebih didominasi untuk membuka toko di dalam negeri, bukan melakukan produksi dan ekspor," lanjutnya.
Contoh jenis investasi tersebut yang sedang tren adalah suntikan modal asing di start-up. Maraknya investasi asing terhadap start-up lokal atau ekspansi start-up global di Indonesia disebabkan market-size Indonesia yang besar. Sayang, tren perkembangan start-up di Indonesia tidak direspons pemerintah dengan tepat. Jadi, banyak platform e-commerce didominasi barang impor.
’’Ironisnya, start-up lokal yang dibanggakan oleh pemerintah, nyatanya mayoritas sahamnya sudah dimiliki asing. Sekalipun masih ada yang didominasi investor dalam negeri, saya yakin cepat atau lambat akan dikuasai investor asing,’’ tuturnya.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira menyoroti dari sisi neraca dagang. Keberadaan start-up yang didanai asing justru memperparah defisit perdagangan dan transaksi berjalan sekaligus. Start-up, khususnya yang bergerak di bidang e-commerce, berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi.
Pada 2018, impor barang konsumsi naik 22 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5 persen. Kemudian, data asosiasi e-commerce menunjukkan bahwa kecenderungan 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya, produk lokal hanya 7 persen.
"Sementara itu, manfaat start-up bagi penyerapan tenaga kerja atau semiskilled dan high skilled masih terbatas. Kalau driver online jutaan yang terserap, lebih masuk kategori low skilled. SDM high skilled start-up di Indonesia masih dipenuhi tenaga kerja asing atau outsourcing ke negara lain," jelasnya.
Bhima menekankan, pemerintah perlu menyamakan aturan barang impor di-retailer konvensional dan online. Sebelumnya, ada beberapa pembatasan produk impor melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112). Kebijakan tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari 100 dolar AS menjadi 75 dolar AS per hari. (ken/c5/oki/das)
Laporan: JPG
Editor: Arif Oktafian