JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed memangkas suku bunga berdampak positif bagi Indonesia. Pemangkasan 50 basis poin (bps) itu membuat harga saham dan obligasi pada pasar saham Asia semakin baik. Dana asing pun mengalir ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah mengungkapkan bahwa kebijakan The Fed itu memicu aksi jual di pasar saham AS. Namun, tidak demikian halnya di pasar saham Asia. "Meningkatkan harga saham dan obligasi," katanya, kemarin (4/3).
Beberapa investor asing membeli surat utang negara (SUN) Indonesia. Para real money investor juga melakukan hal yang sama. Akibatnya, yield SUN Indonesia turun drastis kemarin. "SUN seri FR 82 (patokan 1 tahun) turun dari 6,77 persen ke 6,54 persen. Terakhir, penutupan pada angka 6,45 persen," jelas Nanang.
Ada dua alasan yang mengakibatkan penurunan tersebut. Alasan yang Nanang sebut pertama adalah yield US Treasury Bond menyentuh 0,90 persen. Dampaknya, SUN Indonesia melebar 570 bps. Kedua, investor mengantisipasi penurunan suku bunga kebijakan Indonesia. "Mereka berusaha mengunci yield (SUN Indonesia) yang masih tinggi dan diperkirakan bakal turun ke 6 persen," bebernya.
Sejak pekan terakhir Januari lalu, Bank Indonesia (BI) melepas SUN. Bersamaan dengan itu, virus corona menyebar luas. Tujuan kebijakan BI adalah mengamankan aset dari investor berportofolio asing. Salah satunya adalah US Treasury Bond. Keputusan itu diambil tanpa menimbang besaran imbal hasil. "Itu hal yang wajar ketika pasar panik," terang Nanang.
Pria 57 tahun tersebut melanjutkan bahwa likuiditas global akan kembali berlimpah apabila bank sentral negara-negara maju ikut menurunkan suku bunga. Dengan demikian, aliran modal masuk ke SUN Indonesia dan mendorong pasokan valas ke pasar. Hasilnya, rupiah kembali menguat.
Nanang menegaskan bahwa BI berada di pasar valas secara terukur. Terutama ketika pasar mengalami mismatch antara pasokan dan permintaan valas. "Sementara karena arus modal asing ke pasar SUN hari ini cukup besar, maka BI tidak berada di pasar (intervensi). Namun tetap stay alert," urai alumnus Vanderbilt University tersebut.
Sementara itu, Direktur Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam menyebut penurunan suku bunga The Fed tidak akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. "Rupiah justru menguat," tegasnya, kemarin.
Itu sekaligus membuka ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Dengan demikian, BI lebih leluasa menurunkan suku bunga. Harapannya, bisa membantu menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman wabah corona.
Terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa keputusan Chairman The Fed Jerome Powell itu positif bagi perekonomian dalam negeri. Perempuan yang akrab disapa Ani itu optimistis capital inflow akan mengalir deras ke dalam negeri.
"In sya Allah iya. Dengan tekanan suku bunga yang menurun ini, pemilik modal mampu melihat kesempatan di negara kita. Indonesia relatif dalam keadaan cukup positif," ujarnya ditemui di Kemenko PMK, kemarin.
Ani menjelaskan, sebenarnya relaksasi kebijakan The Fed itu terasa sejak pertemuan G20 beberapa waktu lalu. Menurut dia, hal itu merupakan respons akibat virus korona yang menekan ekonomi global.(han/dee/c17/hep/das)
Laporan JPG, Jakarta