Untuk elpiji nonsubsidi seperti Bright Gas akan disesuaikan sekitar Rp2.000 per kg. “Seluruh penyesuaian harga di angka sekitar Rp2.000 baik per liter untuk BBM dan per kg untuk elpiji. Harga ini masih sangat kompetitif dibandingkan produk dengan kualitas setara. Untuk yang subsidi, pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan harganya," katanya. Dari sisi BBM subsidi, Pertamina memang menjual lebih rendah dari harga keekonomiannya. Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, harga produk BBM mulai dari pertalite, pertamax, hingga solar, serta produk elpiji penugasan yang dijual Pertamina memang masih belum naik.
Untuk pertalite, Nicke mengatakan, harga pasar saat ini adalah sebesar Rp17.200 per liter, namun harga jual Pertamina masih tetap Rp7.650 per liter. Dengan demikian, setiap liter pertalite yang dibayar oleh masyarakat, pemerintah mensubsidi Rp9.550 per liternya.
Kemudian untuk pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp17.000 per liter. Sebab secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp 17.950.
“Kita masih menahan dengan harga Rp12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara," ujar Nicke, akhir pekan.
Sementara itu, per Juli 2022, harga keekonomian untuk solar CN-48 atau biosolar (B30) sebesar Rp18.150 per liter, namun Pertamina masih menjual jenis BBM tersebut dengan harga Rp5.150 per liter. “Jadi untuk setiap liter solar, pemerintah membayar subsidi Rp 13.000," ujar Nicke.
Adapun untuk elpiji PSO sejak 2007 belum ada kenaikan. Di mana harganya masih Rp4.250 per kg, sementara harga pasar Rp15.698 per kg. “Dengan demikian, subsidi dari pemerintah adalah Rp11.448 per kg," katanya.
Untuk informasi lengkap mengenai seluruh harga produk Pertamina terbaru, masyarakat dapat mengakses website berikut www.pertamina.com/id/news-room/announcement/daftar-harga-bbk-tmt-10-juli-2022-Zona-3 dan mypertamina.id/fuels-harga atau dapat langsung menghubungi Pertamina Call Center (PCC) 135.
Sementara itu, mengomentari mengenai kenaikan harga BBM Non Subsidi, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan membenarkan bahwa harga minyak dunia tembus di atas 110-120 dolar AS. Menurut Mamit, BBM umum alias BBM nonsubsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020. "Di situ memang diatur kapan harga perlu dievaluasi, terhadap harga keekonomian minyak mentah dunia, kurs Rupiah, dan lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu tetap," ujar Mamit, Ahad (10/7).
Mamit menambahkan bahwa memang selain faktor harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar ikut disebut jadi alasan kuat harga BBM nonsubsidi harus naik.
"Karena harga minyak dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM dan kurs Rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi," tambahnya.
Bahkan Mamit menilai bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM nonsubdisi tersebut nilainya masih di bawah nilai keekonomian yang seharusnya. "Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Jadi memang harganya menyesuaikan harga minyak mentah dunia," urainya.
Menurut dia, Pertamina cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat tak terkecuali masyarakat pengguna BBM ron tinggi. "Kemudian yang kedua yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM ron tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu tinggi bisa memicu migrasi tersebut," ujarnya.(dee/agf/das)