JAKARTA (RIAUPOS.CO ) - Divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia (PT FI) seharga 1,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp23 triliun dinilai terlalu mahal. Menteri BUMN Rini Soemarno memastikan tertarik membeli saham Freeport, tapi akan ditawar karena harga tembaga sedang turun.
Menurut dia, pemerintah akan melihat dan menganalisis lebih dalam penawaran itu. Termasuk cadangan yang tersisa dan prediksi harga komoditas tersebut ke depan. "Kalau 10 persen, harusnya tak segitu,’’ ujarnya Jumat (15/1/2016).
Rini mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari Kementerian ESDM soal penawaran divestasi saham PT FI. Yang jelas, perusahaan BUMN sudah siap membeli tawaran divestasi sehingga pemerintah nanti punya kepemilikan 20 persen. Apalagi pemerintah sudah menyatakan tidak ada anggaran untuk membeli.
’’Di APBN memang tidak ada anggaran untuk itu. Jadi, kembali ke BUMN yang juga milik negara,’’ katanya. Rini menambahkan, kementerian tertarik karena potensi tambang Freeport masih bagus. Malahan, kalau ada kesempatan memiliki saham sampai 30 persen, BUMN tidak akan menolak.
Soal perusahaan yang akan mengambil saham itu, Rini belum bisa menjawab tegas. Alasannya, penawaran resmi belum sampai di mejanya. Karena itu, dia belum bisa melihat perusahaan mana yang keuangannya cukup sehat untuk membeli saham.
’’Kami harus melihat cash flow sampai kemampuan meminjamnya,’’ tutur Rini. Dia memastikan, perusahaan BUMN diharapkan mengambil divestasi kedua PT FI itu seoptimal-optimalnya.
Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso juga menilai harga divestasi tersebut terlalu mahal. Menurut dia, penawaran 1,7 miliar dolar AS dari perhitungan aset Freeport per 2014 adalah 9,1 miliar dolar AS dengan net profit 500 juta dolar AS. "Lantas, dihitung sampai izinnya berakhir 2021," terangnya.
Itu berarti masih ada sisa lima tahun dan dikalikan dengan net profit. Jadi, ada 2,5 miliar dolar AS potensi pendapatan sampai kontrak habis. Jika ditambah nilai aset 9,1 miliar dolar AS, muncul angka 11,6 miliar dolar AS. Nah, 10 persen dari nilai itu ditawarkan ke pemerintah.
Angka tersebut sangat tepat kalau memang tidak ada penurunan produksi maupun keuntungan dan risiko lainnya. Padahal, risiko masih ada sehingga harus dipertimbangkan pemerintah. Apalagi cadangan emas dan tembaga belum menjadi milik penambang sebelum kewajibannya dibayar. "Artinya, nilai emas dan tembaga tidak boleh dimasukkan dalam proyeksi keuangan," terangnya.
Dia menyarankan, pemerintah harus mempertimbangkan belum dibayarnya dividen selama empat tahun. Dia khawatir sikap tergesa-gesa pemerintah bisa membuat negara tersandera. ’’Karena investasi belum balik, kontrak Freeport lantas diperpanjang begitu saja. Ngapain beli mahal kalau 2021 bisa menjadi milik pemerintah100 persen?" ungkapnya.