NEW HOPE DAHLAN ISKAN

Curhat Dr Suyoto setelah Gagal di Putra Petir

Ekonomi-Bisnis | Senin, 28 Desember 2015 - 00:14 WIB

Curhat Dr Suyoto setelah Gagal di Putra Petir

Waktu tamat SMP, Suyoto hampir saja tidak bisa meneruskan ke SMA. Tidak ada SMA di dekat desanya. Juga tidak ada biaya untuk mengirimkannya ke Jatirogo, sebuah kota kecamatan yang ada SMA-nya. Untung kakek yang mengasuhnya (ayah Suyoto, Rais, meninggalkan istrinya merantau ke Kaltim) punya ide: menitipkan Suyoto ke Kyai Mawardi untuk bisa tinggal secara gratis di pondok pesantren NU Sugihan di dekat SMA Jatirogo.

Waktu SMA itu sebenarnya Suyoto naksir siswi tercantik di kelasnya. Kepada siswi itulah Suyoto sering pinjam buku. Yang kemudian membuatnya menjadi lulusan terbaik se-Kabupaten Tuban. Hanya saja lantaran statusnya amat miskin Suyoto tidak bernyali mengutarakan perasaannya.


Dia pun lantas merantau ke Surabaya. Karena sering juara di sekolah, Suyoto diterima kuliah di Fakultas Teknik Elektro ITS Surabaya. Seorang dosen di situ, yang kebetulan memerlukan pembantu rumah tangga, bersedia menampung Suyoto sekalian jadi pembantu serabutan.

Saat itu Suyoto sudah mengidolakan Prof Dr BJ Habibie. Bahkan sudah sejak masih SD. Maka ketika dia mendengar ada bea siswa dari BPPT yang dipimpin Habibie, Suyoto ikut tes. Lulus. Dia pun berangkat ke Jepang. Menyelesaikan S1. Lalu dia mendapat bea siswa dari Jepang untuk S2 bahkan sampai S3.

Bea siswa Habibie itulah yang terus menghantui jiwanya. Dr Suyoto tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka. Saya tegaskan padanya bahwa mengabdi bisa di mana saja. Tidak harus seperti Ricky atau RJ Lino yang dulu juga sangat dikagumi di luar negeri. Bisa pun menjadi idola anak muda Indonesia itu sudah merupakan pengabdian yang luar biasa. Kita semua, waktu muda, memerlukan inspirasi dari tokoh idola.

Saya melihat anak-anak muda Indonesia yang hebat yang kini berdiaspora di mana-mana adalah kekayaan nasional juga. Bukan pengabai nasionalisme. Mereka adalah kekayaan networks kita. Di zaman modern "network" adalah kekayaan nasional yang tidak terpermanai. Bisa-bisa mengalahkan kekayaan alam. Maka orang seperti Dr Suyoto harus kita lihat sebagai kekayaan networks nasionalisme kita. Ini termasuk dalam Nasmod yang saya maksud: Nasionalisme modern.

Pengabdian itu begitu luas medannya. Apalagi Dr Suyoto sudah memutuskan untuk mendirikan wadah perjuangan atas fasilitas perusahaannya. Namanya: Formasi-G. Singkatan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia Berwawasan Global.

Dia himpun anak-anak muda kita di berbagai keahlian. Dia himpun apa pun yang jadi unggulan Indonesia. Agar tidak jadi bangsa kalah. Saya hadir waktu Formasi-G dideklarasikan pekan lalu di Universitas Indonesia Jakarta.

Setidaknya Dr Suyoto kini sudah bisa tinggal di Jakarta. Dan berhasil menyekolahkan anak-anaknya yang semula hanya bisa berbahasa Jepang itu di Al Azhar Jakarta.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook