Program
uji komersial katalis merah-putih, terang Jumain, merupakan salah satu
tonggak (milestone) program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri (IPTI):
Penguatan Inovasi dan Pengembangan Produksi Katalis ’’Merah-Putih’’
yang didukung oleh Direktorat Penguatan Inovasi, Kemenristekdikti sejak
tahun 2017.
’’Untuk menghasilkan
teknologi proses pada jangka panjang dan pabrik katalis nasional pada
jangka menengah, kegiatan jangka pendek berfokus pada pembangunan
pabrik-katalis pendidikan dan percepatan formulasi katalis-katalis,’’
tuturnya.
Baca Juga :
Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut
GM Pertamina RU II di Kilang Pertamina, Nandang
Kurnaedi menyampaikan implementasi proses pengolahan BBM nabati di
Kilang RU II
Dumai merupakan batu loncatan besar dalam hal perkembangan
teknologi di Indonesia sekaligus mendorong pengurangan impor minyak
mentah.
’’Co-processing atau pengolahan
bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku
minyak nabati ini dilaksanakan dengan menggunakan katalis berteknologi
tinggi hasil pengembangan yang dilaksanakan di Research and Technology
Center Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB),’’ tuturnya.
Ia
mengaku perlu berbangga hati bahwa anak bangsa dapat menciptakan
katalis yang selama ini didapatkan dari luar negeri. Setelah melalui
beberapa tahun penelitian, katalis yang diberi nama Katalis Merah Putih
ini telah siap digunakan.
’’Pengembangan
katalis ini telah dilakukan sejak 2008 hingga terciptanya katalis
generasi kedua yang telah secara optimal mejadi elemen pendukung
co-processing di Kilang RU II. Seluruh proses pengembangan katalis
dilaksanakan oleh putera puteri terbaik bangsa dan diujicobakan pula di
Kilang Pertamina,’’ tuturnya.
Setelah berhasil menciptakan
katalis, pengolahan CPO dilakukan di fasilitas Distillate Hydrotreating
Unit (DHDT) yang berada di kilang Pertamina Dumai, berkapasitas 12.6
MBSD (Million Barel Steam Per Day). Penggantian katalis lama dengan
versi baru ciptaan dalam negeri mulai dijalankan pada Februari 2019.
Injeksi bahan baku minyak nabati pun mulai dilaksanakan pada Maret 2019.
’’Dari hasil uji coba, pengolahan dengan sistem co-processing
di unit DHDT ini dapat menyerap feed RBDPO hingga 12 persen. Pencampuran
langsung RBDPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini secara teknis
lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan komponen
gasoil dengan kualitas lebih tinggi karena angka cetane mengalami
peningkatan hingga 58 dengan kandungan sulphur lebih rendah," ungkap
Nandang.
Adapun CPO yang digunakan adalah jenis crude palm
oil yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal
dengan nama RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil). RBDPO tersebut
kemudian dicampur dengan sumber bahan bakar fosil di kilang dan diolah
dengan proses kimia sehingga menghasilkan bahan bakar solar ramah
lingkungan.(hsb)