Kondisi itu, lanjut Agus, membuat terjadinya aliran dana dari negara-negara maju ke emerging markets, termasuk Indonesia. Bank sentral mencatat, sepanjang Januari - Februari 2016, aliran dana masuk ke Indonesia mencapai Rp35 triliun. Dana-dana itu memang tergolong modal jangka pendek atau biasa disebut hot money alias uang panas. Dana itu masuk ke pasar surat berharga (obligasi) dan pasar saham. ’’Makanya terjadi penguatan rupiah dan saham,’’ ucapnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, salah satu faktor menguatnya rupiah adalah banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Dengan adanya penanaman modal asing (PMA) tersebut, valuta asing pun ikut berdatangan. Dia menguraikan, serbuan investasi asing tersebut tidak lain dipicu adanya kecenderungan penurunan tingkat bunga di negara-negara maju.
"Sekarang ini secara global, kecenderungannya tingkat bunga negara maju, diturunkan oleh mereka," paparnya. Dampaknya, lanjut Darmin, investor asing pun melirik negara-negara dengan tingkat suku bunga yang tinggi, salah satunya Indonesia. Meskipun BI sudah dua kali melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi tujuh persen, angka tersebut masih menarik bagi para investor.
"Kita walaupun turun (suku bunga acuan) tapi masih relatif tinggi. Dan ekonomi kita pertumbuhannya juga dianggap bukan menurun, tapi malah membaik. Sehingga para pemilik dana menganggap investasi di Indonesia itu menjanjikan. Uangnya pun masuk ke sini (Indonesia),"jelasnya.
Mantan gubernur BI itu memastikan, yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah menjaga agar dana berbentuk valas tersebut bisa menetap cukup lama di Indonesia. "Kita tentu menjaganya (valas) dengan meneruskan langkah-langkah yang kita lakukan selama ini," katanya.
Namun, Darmin mengakui, rupiah bisa kembali bergejolak jika AS memutuskan menaikkan tingkat bunganya. Meski begitu, dia meyakini, hal tersebut tidak akan menimbulkan gejolak atau tekanan yang hebat bagi rupiah seperti di masa lalu. ”Tapi saya percaya tidak seperti di masa masa lalu di mana kemudian begitu dia (AS) mau naikkan sudah bergejolak,"ujarnya.
Di samping ancaman kenaikan tingkat bunga AS, Darmin mengatakan, pemerintah juga mewaspadai aksi penurunan suku bunga yang bakal dilakukan negara-negara Eropa, Jepang dan Tiongkok. Penurunan suku bunga tersebut akan membuat rupiah menguat. Jika penguatannya terlalu tajam, bisa membuat gejolak di pasar uang dan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar ekspor. "Jadi, kita juga tidak ingin rupiah terlalu kuat di atas (nilai) fundamentalnya," imbuhnya.