JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) sudah resmi berlaku mulai 31 Desember 2015. Indonesia pun harus bergerak cepat untuk mengoptimalkan MEA.
Anggota Tim Ahli Wakil Presiden Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, selama ini banyak yang salah kaprah yang mengibaratkan MEA layaknya arena pertarungan bebas antar-negara ASEAN.
’’Padahal, misi utama MEA itu untuk kolaborasi,’’ ujarnya, Jumat (1/1).
Sebagaimana diketahui, MEA melibatkan 10 negara ASEAN. Yakni Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Total pasar dari 10 negara ini diperkirakan mencapai 625 juta penduduk.
Salah satu poin utama dalam skema MEA adalah kesepakatan menuju pasar tunggal atau single market untuk lima sektor. Yakni bebasnya arus barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja terlatih dari dan menuju 10 negara anggota ASEAN. Namun, poin penting lain yang kurang diperhatikan adalah roadmap ASEAN untuk bersinergi memperkuat daya saing regional.
Sayangnya, kata Shinta, sesama anggota ASEAN sendiri masih memiliki persepsi bahwa MEA semata-mata ajang kompetisi. Sehingga, yang muncul adalah ketakutan dan kekhawatiran jika nanti suatu produk atau tenaga kerja dari suatu negara membanjiri negara lain.
’’Meningkatkan daya saing negara penting, tapi meningkatkan daya saing ASEAN di tingkat global, itu sebenarnya tujuan utama MEA,’’ kata pebisnis yang menduduki jabatan Wakil Ketua di Kadin Indonesia dan Apindo tersebut.
Hal itu sejalan dengan pandangan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Dalam pernyataan resminya, dia menyebut jika Indonesia dan negara ASEAN lainnya kini menghadapi kekuatan besar Cina dengan populasi 1,4 miliar penduduk maupun Amerika Serikat (AS) yang memiliki ekonomi terbesar dunia.
’’Opsinya, menghadapinya sendiri-sendiri, atau bersatu dalam wadah ASEAN,’’ ucapnya.
Thomas mengatakan, dengan total populasi 625 juta penduduk dan ekonomi hingga 3 triliun dolar AS, 10 negara ASEAN akan lebih kuat jika bersatu untuk menghadapi raksasa ekonomi global lainnya, dibandingkan jika dihadapi oleh masing-masing, sebagai Indonesia, Malaysia, atau sebagai Singapura.
’’Sehingga, wadah ASEAN sebagai organisasi regional sangat penting,’’ ujarnya.
Karena itu, menurut Shinta, Indonesia dan negara ASEAN lainnya punya dua PR besar. Pertama, meningkatkan daya saing internal. Kedua, meningkatkan daya saing ASEAN secara kolektif di tengah makin bebasnya perdagangan dunia.
’’Jadi di tahap awal pemberlakuan MEA, saya kira masih akan ada penyesuaian-penyesuaian di tiap negara,’’ ucapnya.
Dari sisi daya saing, owner dan CEO Sintesa Group mengakui Indonesia masih harus banyak berbenah. Dia mengambil contoh dari sisi infrastruktur transportasi yang menjadi salah satu titik lemah Indonesia. Gara-gara kurangnya infrastruktur, pelaku usaha di Indonesia harus menanggung biaya transportasi yang sangat tinggi hingga sekitar 20 persen dari nilai produk.