PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Kasmarni batal memberikan kesaksian untuk sang suami Amril Mukminin. Pasalnya, bakal calon Bupati Bengkalis itu mengundurkan diri sebagai saksi. Meski begitu, dua pengusaha sawit mengaku menyerahkan secara tunai maupun transfer senilai Rp23,5 miliar kepada istri Bupati Bengkalis nonaktif tersebut.Sidang dugaan suap dan gratifikasi atas terdakwa Amril Mukminin, kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (27/8). Sidang dipimpin majelis hakim, Lilin Herlina SH MH. Lalu, turut hadir jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta tim kuasa hukum Bupati Bengkalis nonaktif.
Sementara, ada tiga saksi yang dimintai keterangan yakni Jonny Tjoa selaku Direktur Utama (Dirut) dan pemilik perusahaan sawit PT Mustika Agung Sawit Sejahtera (MASS). Lalu, Adyanto selaku Direktur dan pemilik PT Sawit Anugrah Sejahtera (SAS), dan Kasmarni selaku istri Amril Mukminin.
Kasmarni merupakan orang pertama yang memberikan kesaksian untuk pembuktian surat dakwaan subsider kedua. Akan tetapi, mantan Camat Pinggir itu mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri sebagai saksi.
"Izin Yang Mulia, saya mengundurkan diri sebagai saksi. Permohonan mengundurkan diri sebagai saksi dalam perkara suami. Sehubungan dengan panggilan KPK tertanggal 24 agustus 2020 untuk persidangan sebagai saksi," ungkap Kasmarni secara video conference (vidcon) di Bengkalis.
"Saya mohon untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Dikarenakan terdakwa adalah suami saya, ini sesuai dalam Pasal 168 KUHAP," kata Kasmarni.
Atas pernyataan tersebut, JPU KPK Takdir Suhan menyampaikan, tidak keberataan terhadap permohonan saksi. Begitu pula dengan hakim ketua, Lilin Herlina.
"Karena diatur dalam Undang-undang, maka kami kabulkan," kata Lilin Herlina.
Sementara, Jhony Tjoa mengaku tidak mengetahui kala itu Amril Mukminin sebagai anggota DPRD Bengkalis. Ia hanya mengetahui, terdakwa sebagai tokoh masyarakat. “Itu tahun 2012. Saya punya PT di sana. Sebelum pertemuan dengan Amril, banyak gangguan di sana,” aku Jonny Tjoa.
Dalam pertemuan tersebut, lanjut Jhony, dirinya membicarakan mengenai permasalahan yang terjadi di sekitaran pabriknya. Ia juga membicarakan supaya terdakwa memfasilitasi buah masyarakat untuk menjual ke pabriknya.
"Ada perjanjian, setiap buah tandan segar (TBS) yang masuk itu ada fee Rp5 per kilo untuk Amril," sebut Dirut PT MASS.
"Apakah ada nego-nego sebelumnya untuk per kilonya terkait penentuan angka itu?" tanya JPU KPK, Takdir Suhan.
Jhony tak menampik, adanya nego terhadap fee tersebut. Diakuinya, awalnya Amril mengusulkan sebesar Rp10 per kilo TBS yang masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS) miliknya. Namun, pada akhirnya disepakati Rp5. Setelah terjadi kesepakatan itu, lanjut saksi, pihaknya menyerahkan uang kepada Bupati Bengkalis nonaktif dengan cara transfer ke rekening bank CIMB Niaga atas nama Kasmarni, istri Amril. Hal itu, berdasarkan arahan dari Amril.
Sekali transfer katanya, nilainya berbeda. Berkisar puluhan juta sampai ratusan juta tergantung berapa banyak jumlah buah sawit yang masuk ke PKS.
"Setoran per bulan. Kalau dihitung sekitar Rp12 miliar lebih. Itu terhitung sejak 2013 sampai 2019," sebutnya menambahkan.
Kepada saksi, JPU Takdir Suhan melayangkan pertanyaan apakah pernah bertemu dan di mana dengan Kasmarni. Jhony mengaku, pernah bertemu, tapi jarang. Pertama kali bertemu, kata dia, dikenalkan Amril saat membuat perjanjian di salah satu restoran di Pekanbaru. Lalu, pertemuan kedua ketika penandatangan perjanjan di Kabupaten Bengkalis. Jhony menambahkan, dirinya memiliki dua PKS di Negeri Sri Junjungan. Pada dasarnya, kedua pabrik itu mekanisme perjanjiannya sama, mengikuti perjanjian untuk pabrik sebelumnya. Selisihnya sekitar 2 tahun.
"Siapa yang menjadi pengamanan di sana?" tanya JPU.
"Di pabrik kita itu yang mengamankan ya orang-orang dekat beliau. Orang-orang beliau, siapa-siapanya saja tidak tahu," aku Jhony.
Sementara berbeda halnya cara penyerahan uang yang dilakukan Adyanto. Direktur PT SAS mengakui memberikan uang tersebut kepada Amril dalam bentuk tunai.
"Setiap bulan kasih cash. Saya antar ke rumah," ungkap Adyanto.
Pemberian uang dalam bentuk tunai, kata dia, atas permintaan langsung Amril. Uang itu, lanjut Adyanto, mulai diberikan kepada istri Amril sejak 2014. Pemberian tersebut terhenti, setelah dirinya diperiksa oleh penyidik lembaga antirasuah pada Juli 2019.
"Terakhir setor setelah diperiksa KPK. Kalau ditotalkan sekitar Rp10 miliar lebih. Saya langsung setor tunai. Kadang Rp180 juta, tidak tentu. Kasmarni maupun Amril, tidak pernah keberatan," akunya.
Usai persidangan JPU KPK, Takdir Suhan mengatakan, pihaknya memiliki alat bukti yang cukup banyak untuk melakukan pembuktian dalam kasus yang melibatkan Amril Mukminin ini, kendati Kasmarni mengundurkan diri jadi saksi. Alat bukti yang dimaksud di antaranya, saksi-saksi lain yang sudah dihadirkan, alat bukti dokumen, dan lain-lain. Semua digunakan untuk meyakinkan hakim.
"Bagi kami itu sudah cukup mewakili. Jadi walaupun ketidaksediaan ibu Kasmarni untuk menjadi saksi, itu tidak mengurangi pembuktian tim JPU untuk membuktikan kasus ini. Minggu depan pun masih ada saksi yang kami hadirkan," tuturnya.
Diakuinya, pengunduran diri Kasmarni sebagai saksi baru diterima pihaknya. Ini, kata dia, saat yang bersangkutan akan memberikan keterangan dalam persidangan.
"Sebelum sidang sudah disampaikan oleh perwakilan tim PH terdakwa. Cuma kami tegaskan lagi, bagaimana pun sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Sesuai ketentuan ada hak untuk tidak menjadi saksi," tutup JPU KPK.
Dalam surat dakwan subsider kedua menyatakan, terdakwa Amril Mukminin selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014-2019, dan Bupati Bengkalis 2016-2021 telah menerima gratifikasi berupa uang setiap bulannya dari pengusaha sawit di Negeri Sri Junjungan. Dari pengusaha Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755.
Penerimaan uang yang merupakan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja. Hal ini, sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang dan merupakan pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dan selaku Bupati Bengkalis 2016-2021.
Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.(rir)