DURI (RIAUPOS.CO) -- Sejak pendemi Covid-19 melanda Indonesia dan naiknya pasien terkonfirmasi positif covid membuat pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Akibat PSBB, masyarakat Sakai terpaksa mengubah matapencaharian dari memancing ikan di sungai/rawa dan mengambil buah-buahan dari hutan dan berladang berpindah, kini menjadi bercocok tanam holtikultura.
"Sangat berat. Apalagi kami tidak terbiasa bercocok tanam dengan berkebun," aku Karim kepada Riau Pos, Ahad (29/11) di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan.
Pria beranak tujuh ini berhenti sesaat. Hamparan kebun yang dikelolanya tidak begitu luas. "Tapi hasilnya lumayan bisa menambah penghasilan keluarga," katanya.
Karim merupakan satu dari beberapa warga Sakai yang membentuk kelompok tani yang beranggotakan 15 orang ini bercocok tanam holtikultura. Tiap orang menanam sayuran berbeda.
"Kami lakukan ini biar kami bisa bertukar hasil panen. Karena saat PSBB diberlakukan kita tidak boleh keluar dari kawasan tentunya tidak bisa lagi berladang berpindah," terangnya.
Untuk konsumsi masyarakat yang berada di kawasan hutan adat Sakai Kesumbo Ampai, tanaman hortikultura berupa sayuran yang ditanam mencukupi bahkan berlebih. Namun untuk menjadi matapencaharian guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apa yang dihasilkan belum memadai.
"Sebenarnya kami sedang memperluas areal perkebunan. Hanya saja masih banyak kendala. Karena tidak semua anggota kelompok tani paham berkebun hortikultura. Apalagi lahan yang digunakan itu-itu saja," katanya sambil menyeka keringat yang membasahi pelupuk matanya.
Menjadikan masyarakat Sakai berkebun hortikultura bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan berulang yang dilakukan. Apalagi sebelumnya beberapa warga Sakai menanam padi di lahan yang cukup luas, namun gagal panen akibat hama. Warga Sakai pun enggan berkebun apalagi menanam padi. Kebiasaan lama kembali yakni berladang berpindah. Selain bercocok tanam holtikultura, warga Sakai juga beternak sapi.
"Kotoran sapi inilah yang kami jadikan pupuk sehingga sayuran yang dihasilkan lebih bagus dan lebih cepat bisa dipanen. Hanya saja kotoran sapi yang tersedia tidak mencukupi jadi pupuk kami datangkan dari luar," sebut Karim.
Tokoh pemuda Sakai Mus Mulyadi orang yang pertama mengajari warga Sakai berkebun hortikultura mengingat luasnya lahan produktif terbengkalai.
Tak banyak orang-orang Sakai di Riau yang mau memanfaatkan lahan tersebut untuk pertanian, peternakan atau kegiatan ekonomi lainnya. Mus Mulyadi kerap memperbincangkan kondisi ini di lingkungannya.
ia berharap masyarakat Sakai tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri namun juga bisa menghasilkan pendapatan dari usaha pertanian yang mereka lakukan. Untuk mengubah budaya setempat tentu tak segampang membalik telapak tangan.
"Suku Sakai terkenal dengan kehidupan sehari-harinya mengambil hasil hutan, berladang yang berpindah-pindah," ujar Mus.
Pada tahap awal, masyarakat diberikan pembinaan dan pelatihan terlebih dahulu. Tidak langsung diberikan bibit atau pakan untuk ternak. Setelah diberikan pembinaan dan pelatihan, para petani diberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan, antara lain pupuk dan juga pendampingan. Upaya tersebut membuahkan hasil. Komoditas pertanian dan perikanan yang dihasilkan mulai beragam antara lain kangkung, cabai, kacang panjang, ayam potong, ikan lele, ikan patin, bebek, dan burung puyuh.
Mereka yang mengikuti program ini kini sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk kehidupan sehari-hari.
"Jika memiliki keinginan yang kuat untuk berubah, kita pasti berhasil. Hal yang begini kita harus ditularkan kepada anggota masyarakat Sakai lainnya. Sekarang Sakai bertani profesional," ucap Mus.
Ketua Adat Sakai Muhammad Nasir mengatakan, sejak beberapa tahun lalu warga Sakai tidak hanya mengandalkan sumber daya hutan sebagai sumber kehidupan mengingat jumlah masyarakat di sana semakin tumbuh dan berkembang sehingga pola hidup mencari ikan di sungai dan mencari buah-buah tidak lagi semata-mata menjadi mata pencaharian. Apalagi anak-anak Sakai kini tingkat pendidikannya sudah jauh lebih bagus hingga ke jenjang perguruan tinggi sehingga sumber mata pencaharian warga Sakai sudah beragam.
Dalam kehidupan sosial mereka setiap orang Sakai atau setiap keluarga mereka harus mempunyai sebidang tanah atau sebidang ladang. Pada umumnya anak-anak laki-laki yang lajang atau yang belum mempunyai istri wajib sudah mempunyai ladang, setidaknya sedikit bidang ladang. Jika anak bujang dari keluarga suku Sakai tersebut tidak mempunyai ladang maka anak bujang ini ikut membantu dan mempunyai bagian ladang sendiri, dari sebuah ketetanggaan ladang bersama dengan kerabat dekat yaitu kakak perempuan (dalam urut pertama) atau kakak laki-laki (yang sudah berkeluarga).
Karena dengan hasil berladang ini lah membuat mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Ladang merupakan faktor pertama dalam memenuhi kehidupan suku Sakai, karena ladang merupakan tempat mereka dihidupkan dari kecil sehingga menjadi dewasa. Rumah-rumah mereka dibangun di atas ladang, serta di ladang inilah mereka merasa kehidupan yang dapat membedakan antara hak pribadi dan hak-hak sosial keluarga mereka masing-masing.
Untuk pembuatan ladang melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak ada sarang semutnya. Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka memberi tahu Batin, tentang maksud membuka ladang di wilayah hutan yang mereka pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada di hutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemudian mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman lainnya.
"Ada ketentuannya untuk memilih lokasi ladang, jadi tidak sembarangan membuka areal lahan untuk berladang," kata Nasir.
Biasanya dalam berladang, masyarakat Sakai menggunakan peralatan tradisional. Awal Oktober lalu, SKK Migas-PT Chevron Pacific Indonesia memberikan bantuan pemberdayaan masyarakat berupa sarana pertanian kepada masyarakat Sakai di Desa Kesumbo Ampai dan Desa Petani dengan maksud agar masyarakat bisa terus berproduksi di masa pendemi.
"Bantuan ini merupakan upaya peningkatan sumber daya manusia dalam mengelola sarana pertanian masyarakat lokal di sekitar wilayah operasi PT CPI, sekaligus mendukung upaya pemerintah dalam program ketahanan pangan," kata Sonitha Poernomo selaku Manager Corporate Communications PT CPI dalam kesempatan terpisah.
Bantuan yang diberikan berupa handtractor sehingga masyarakat Sakai dalam mengelola ladang yang ditanami tanaman holtikultura semakin terbantukan. "Syukur alhamdulillah, kita dapat bantuan handtractor. Kita bisa menggunakannya karena pernah belajar cara penggunaan handtractor. Saat diserahkan kami sudah diajari juga cara penggunaannya. Pekerjaan kami jadi lebih gampang dalam mengelola tanah," aku Hendra.
Hendra merupakan salah satu anak Sakai yang ikut membantu orangtuanya berladang. Lulusan SMK ini sedikit banyak mampu mengoperasikan peralatan berteknologi tinggi. "Ya ngak gagap teknologi lagi lah. Sudah bisa, kami banyak juga yang sudah lulus SMA/SMK bahkan lulusan perguruan tinggi, makanya sistem pertanian holtikultura yang kami terapkan juga dari teman-teman yang sudah lulus," katanya.(hen)
Pesan Redaksi:
Mari bersama-sama melawan Covid-19. Riaupos.co mengajak seluruh pembaca ikut mengampanyekan gerakan 3M Lawan Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Ingat pesan Ibu, selalu Memakai masker, Mencuci tangan dan Menjaga jarak serta hindari kerumunan.
#satgascovid19
#ingatpesanibu
#ingatpesanibupakaimasker
#ingatpesanibujagajarak
#ingatpesanibucucitangan
#pakaimasker
#jagajarak
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitangan