Tampak seorang laki-laki berumur 64 tahun memakai kopiah hitam. Ia mengenaan baju lengan pendek berwarna putih dikombinasikan dengan celana jeans biru duduk di Jalan Diponegoro, Pekanbaru tidak jauh dari Hotel Aryaduta berjualan alat-alat rumah tangga dari sapu lidi, Kamis (9/5).
(RIAUPOS.CO) -- Beberapa tebas kasur ukuran kecil seharga Rp12 ribu dan ukuran besar Rp20 ribu. Kemudian, sapu lidi dibanderol Rp15 ribu terikat kuat menggunakan tali diletakan secara rapi di sepanjang trotoar jalan dan di keranjang sepedanya.
Tidak hanya alat rumah tangga dari lidi, tetapi pria yang kerap disapa Pak Buyung warga Jalan Paus, Pekanbaru juga menjual kemoceng Rp45 ribu dan ada pula sapu loteng Rp65 ribu. “Masih bisa turun harganya,” ujarnya.
Selama tiga tahun belakangan, Pak Buyung beralih profesi dari pekerjaan sebelumnya sebagai pemulung yang telah digelutinya selama 15 tahun lamanya ke usaha jual beli peralatan rumah tangga itu.
Banting setir menjadi pedagang bersama dengan sepeda yang dibeli bekas dengan harga Rp900 pada masa itu, telah menemani langkah tuanya selama 43 tahun berkeliling mengais rezeki. Lantaran memasuki bulan puasa, ia memang memilih untuk tidak banyak berkeliling agar tidak menghabiskan tenaga di cuaca yang terik pada siang hari itu.
“Biasanya keliling, ke Jalan Gajahmada, Harapan Raya, Jalan Kelapa Sawit. Muter-muter,” ujarnya.
Pria yang memiliki satu orang istri dengan empat orang anak ini mengambil langsung barang dagangan dari Solok, Sumatera Barat, dengan mengutamakan kualitas barang agar pembeli tidak kecewa dan terus berlangganan dengannya. Ia mulai berjualan dari pukul delapan pagi hingga jam lima sore.
Dalam sehari, pendapatan kotor seperti diungkapkannya bisa sebanyak Rp100 sampai Rp150 ribu dengan estimasi pembeli sekitar lima sampai tujuh orang sehari awalnya hanya berjualan sendiri, namun, kini sudah hanyak para pedagang yang sama seperti dirinya. “Iya, tidak apa-apa. Rezeki sudah ada yang ngatur,” ucapnya.
Ia bercerita mengenai suka duka dalam berjualan selama ini. Perubahan cuaca seperti hujan adalah salah satu kesulitannya, apabila barang dagangan terkena air hujan bisa menyebabkan kerusakan.
Kendati demikian, ia lebih memilih untuk berjualan ketimbang harus kembali memulung sampah untuk bisa makan. Selain pendapatan mulung tidak sebesar hasil dari berdagang. Selain itu, risiko memulung yang tinggi membuatnya berfikir dua kali untuk kembali ke pekerjaan lalu.
Kendati telah 15 tahun bekerja, mencium bau tak sedap dari sampah tetap saja tidak biasa bagi dirinya. Belum lagi penyakit yang menantinya. “Macam-macam dibuang di sana. Kalau fisik kurang mudah dapat penyakit,” sambungnya.
Sesekali ia tetap melempar senyum dan menawarkan barang dagangannya kepada pengendara yang menyempatkan berhenti melihat-lihat dagangannya. Meski harus mencari rupiah, ia tetap tidak melupakan kewajibannya untuk melaksanakan ibadah salat lima waktu. “Harta tidak dibawa mati. Kalau sudah waktunya salat, ya salat. Insya Allah kalau sudah rezekinya, pasti ada saja,” terangnya sambil merapikan barang dagangannya ke dalam sepeda tuanya untuk bergegas mencari rumah ibadah terdekat. (*1)
Laporan MARRIO KISAZ, Kota