JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Persoalan yang menimpa komunitas muslim Uighur di Xinjiang, Cina, memantik reaksi beragam di Tanah Air. Dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah pun berbeda pandang. NU menilai persoalan Uighur merupakan masalah internal pemerintah Cina. Sedangkan Muhammadiyah mengganggap ada pelanggaran HAM soal kebebasan beragama.
Khatib Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf meminta semua pihak tidak menjadikan persoalan Uighur untuk memperbesar konflik. Pihaknya juga mendesak pemerintah Cina tidak memakai isu Islam radikal untuk menutupi tindakan represif ke etnis Uighur. ’’Saya mengajak semuanya berfikir rasional saja. Ini murni masalah dalam negeri Cina,” kata Yahya Cholil Staquf dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, kemarin (26/12).
Disampaikan, persoalan Uighur bisa dituntaskan secara manusiasi. Bukan dengan menggelar demonstrasi. PBNU, kata dia, siap membantu menjernihkan persoalan. Caranya dengan memberi kebebasan beragama ke etnis Uighur agar kooperatif terhadap sistem pemerintahan Cina. ’’Ini untuk membangun harmoni bersama,” paparnya.
Yahya menjelaskan, benih-benih persoalan Uighur muncul sejak berakhirnya perang dunia ke-2 tahun 1945. Saat itu, Uighur yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Turki Usmani berusaha mendirikan negara sendiri bernama Turkistan Timur. Namun Cina lebih berhasil melakukan konsolidasi dengan menguasai Xinjiang yang di dalamnya tinggal orang-orang Uighur.
Jika sekarang ada separatisme di Uighur, Cina merasa memiliki hak sebagai negara berdaulat atas wilayah itu. Saat yang sama etnis Uighur menyeret persoalan ke isu agama. ’’Kita berfikir masa depan. Jika konflik dibiarkan, bukan hanya Cina yang kacau. Seluruh kawasan, termasuk Indonesia juga terdampak,” bebernya.
Lebih jauh disampaikan, persoalan Uighur mirip-mirip dengan kondisi yang terjadi di Papua. ’’Semua aksi separatisme selalu berdampak destabilisasi,” tegas mantan anggota dewan pertimbangan presiden itu.
Sementara itu, Muhammadiyah tidak akan diam dengan persoalan Uighur. Ketua Lembaga Kerja Sama dan Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi mendesak pemerintah lebih aktif mengambil peran. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus aktif menggunakan jalur diplomatik untuk membantu menuntaskan Uighur. Apalagi Indonesia-Cina juga memiliki hubungan bilateral yang cukup bagus. ’’Prinsipnya kami tidak mendikte pemerintah. Tapi pemerintah harus lebih aktif,” imbuh Muhyiddin.
Menurutnya ada indikasi pelanggaran HAM dalam kebijakan pemerintah Cina. Negara tersebut dinilai membatasi kebebasan beribadah dan beragama atas etnis muslim Uighur. Indonesia juga bisa mendesak Cina lebih terbuka dalam memberi akses informasi ke masyarakat internasional atas kebijakan di Xinjiang. ’’Ini untuk menghindari kecurigaan global,” paparnya.
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah sudah pasti melakukan diplomasi. Sebab, Indonesia punya hubungan diplomatik dengan Cina. ’’Cuma diplomasi kita bukan diplomasi megafon,” imbuhnya kemarin.
Sebagai Menko Polhukam, Mahfud menyampaikan bahwa dirinya sudah sempat memanggil duta besar (dubes) Cina untuk Indonesia. ’’Saya katakan orang Islam Indonesia agak terusik dengan peristiwa di Uighur,” ungkap dia. Dirinya juga sudah mendapat penjelasan langsung dubes Cina.
Dari penjelasan tersebut, Mahfud menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa ikut campur lebih jauh lagi. ”Ini namanya diplomasi, diplomasi lunak gitu ya. Bukan diplomasi megafon,” tegasnya. Dia mengakui, dirinya juga sempat bertanya-tanya berkaitan dengan kondisi Muslim Uighur. Sebab, dia tidak pernah merasakan ada masalah setiap bertolak ke Cina.
Misalnya, lanjut mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, ketika dirinya berada di Beijing. ”Saya ke masjid nyaman. Cari restoran Islam, restoran halal ada. Ada perkampungannya sendiri,” imbuhnya. ” Kok terjadi di Uighur seperti itu,” sambung dia. Namun demikian, setelah mendapat penjelasan langsung dari dubes Cina, Mahfud mengerti dan menyatakan bahwa diplomasi yang dilakukan pemerintah tidak sampai ikut campur lebih jauh.(mar/syn/jpg)