“Ini akan jadi kabar buruk bagi oposisi, karena hanya akan mungkin menyisakan PKS sebagai oposisi padahal demokrasi yang kuat dan sehat itu meniscayakan oposisi yang kuat,” ujar Adi saat dikonfirmasi Sabtu (12/10).
“Selama ini yang menjadi simbol oposisi ya Prabowo dan Gerindra, suka nggak suka. Bukan PKS. Simbolnya Prabowo, bukan PAN, bukan Demokrat bukan PKS. Kalau simbol oposisi ini melebur jadi satu tentu akan jadi lelucon,” tambahnya.
Menurut Adi, tak terbayang jika Gerindra selama lima tahun ke depan akan berubah sikap. Dari yang sebelumnya kritis namun berubah 100 persen sikap dan prilakunya. “Gerindra yang selama ini kritis, bahkan cukup ekstrim beda pendapat politiknya dengan Jokowi, tiba-tiba setiap hari harus muji-muji Jokowi. Ada bentrokan psikologis yang tak bisa dihindari. Sangat lucu, gimana kita bisa mrnjelaskan pada publik,” katanya.
Sehingga bagi Adi, yang akan menjadi korban adalah rakyat. Selama Pilpres 2019 lalu rakyat telah terbelah, namun usai kompetisi justru dua kompetitor ini berpelukan mesra dan bagi-bagi kekuasaan. “Itu artinya politik kita selama ini gincu aja bahwa perbedaan dan konfrontasi itu hanya sebatas konsumsi publik saja. Tapi kasian rakyat yang sampai sekarang belum banyak yang move on. Karena kasian rakyatnya. Dibelah, seakan memang terjadi friksi, tapi nyatanya elite landai-landai saja seakan tak terjadi apa-apa,” ungkapnya.
Gerindra Tentukan Sikap di Rakernas
Partai Gerindra baru akan menentukan sikapnya apakah berada di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan untuk menjadi penyeimbang melalui rapat kerja nasional (Rakernas) di Bogor, pada pekan ini. “Sikap resmi partai Gerindra baru akan diputuskan dalam Rakernas di Hambalang, Bogor, pada 15-16 Oktober mendatang,” kata Ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, Sabtu (12/10).
Menurutnya, Gerindra masih menunggu kebijakan dan keputusan dari Presiden Joko Widodo. Apakah semua partai di luar koalisi pendukung pasangan capres-cawapres pemenang pemilu akan berada di luar pemerintahan, atau ada sebagian partai yang bergabung untuk berada di dalam pemerintahan.
“Ada yang beranggapan angka 60 persen itu masih rawan, sehingga perlu tambahan dukungan. Namun, jika semua partai berada di pemerintahan kurang baik juga, karena tidak adanya check and balances,” katanya.
“Adanya perbedaan pandangan dan harapan antara masyarakat dan elite, harus disikapi secara bijak, agar situasi di tengah masyarakat selalu kondusif,” katanya berikut mengingatkan Presiden Joko Widodo agar tetap bersikap arif, bijaksana, terhadap aspirasi.(ant/gun/jpg/egp)
Laporan JPG, Jakarta