ANUGERAH SAGANG 2019 KATEGORI BUKU PILIHAN

Ihwal Derjat dan Marwah Bangsa

Advertorial | Minggu, 24 November 2019 - 10:20 WIB

Ihwal Derjat dan Marwah Bangsa

Di tempat yang sama, Syaukani Alkarim, sastrawan Riau menyatakan,  “... Soal Celana Tak Berpisak, ini soal celana metaforik. Dalam dunia Melayu, penyebutan-penyebutan semacam ini merupakan sesuatu yang umum. Dan kalau kita lihat dalam tulisan Celana Tak Berpisak ini sebetulnya, Griven ingin mengatakan dalam sebuah kalimat lain; tidak adakah anak-anak bangsa ini memiliki putra-putra yang jantan, yang memiliki keberanian untuk mengembalikan negara ini pada sebuah wilayah kehormatan seperti yang pernah ada, yang disampaikan oleh Sukarno”. Lebih lanjut Syaukani mengungkapkan bahwa Griven dalam menulis buku ini juga sedang melakukan tugasnya sebagai legiun sastra. Bahwa dia sedang merekam semua peristiwa, dan memang salah-satu tugas sastrawan adalah menjadi pencatat sejarah di garis depan dalam versi sastrawan, ungkap penyair Romantis Riau ini.

 Sementara Abel Tasman, sastrawan yang cerpennya beberapa kali masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Harian Kompas pada kesempatan itu menyampaikan bahwa persoalan yang dibicarakan buku Celana Tak Berpisak ini adalah tentang marwah Riau yang sudah sehancur-hancurnya bila dilihat dari perlakuan semena-mena pusat terhadap Riau. Lebih lanjut Abel Tasman berkomentar  kepada hadirin yang mayoritas mahasiswa tersebut, bahwa di karya inilah tempatnya, medianya belajar marah.

Marah tidak perlu kepada kawan tapi melalui tulisan supaya  jadi wacana di tengah masyarakat. “Maaf, apa yang dilakukan Griven ini, untuk Riau masih terasa sangat  langka karena belum ada buku sejenis yang tebalnya menyamai buku ini. Apalagi dikumpulkan dalam rentang 14 tahun, yaitu 2004 hingga 2018. Soal konsistensi Griven menulis ini patut diapresiasi. Sebenarnya banyak di antara kita yang hebat menulis tapi tak bisa untuk konsisten seperti ini,” ungkap salah-seorang tokoh pendidikan Riau ini.   

Fatmawati Adnan, Peneliti Balai Bahasa Riau mengungkapkan dalam kolom Alenia Riau Pos, Ahad (17/3/2019). Katanya, “Griven H Putera telah berupaya menggali kecerdasan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam keseharian orang Melayu, khususnya di kampungnya sendiri. Setidaknya ia telah memperkenalkan sebuah ungkapan lokal ke kancah nasional, bahkan mungkin internasional. Sebuah upaya mempertahankan warna sendiri di tengah-tengah kepungan gagasan global yang cendrung mengiring semua bangsa menjadi satu warna. Tahniah!”

 Sementara Musa Ismail, sastrawan yang menetap di Bengkalis berpendapat, “Buku Celana Tak Berpisak (CTB) yang ditulis sastrawan Griven H Putera (GHP), menurut saya, sungguh istimewa. Isinya bukan sekadar percikan pemikiran tentang Melayu, tetapi mengandung keranggian dari dunia ke-Melayu-an, suatu tamadun yang agung karena sentuhan Islam. Semua tulisannya tersaji dengan beragam gaya. Ada yang dibuka dengan tamsil. Ada juga yang dibuka dengan kisah singkat. Ada pula dengan kutipan-kutipan penting sebagai aksentuasi permasalahan yang dibahasnya. Disadari ataupun tidak, hal-hal tersebut merupakan suatu keistimewaan buku CTB ini di samping “kegurihan” bahasa penulisnya. GHP dalam CTB ini telah menghadirkan tulisan-tulisan singkat  dan dia berhasil memaparkan keluasan makna dengan ruang yang terbatas,” sebut Musa.

M Natsir Tahar, seorang Kolumnis yang bermastautin di Batam Kepulauan Riau menyatakan bahwa, “Saya sempat mengamati Celana Tak Berpisak ini dari jauh sebelum mendapat kiriman dari penulisnya sebagai tanda persahabatan. Agak tergesa-gesa bila langsung me-review buku setebal 560 halaman yang ditulis dalam rentang 14 tahun. Lagi pula, buku kumpulan esai berisi begitu banyak gagasan dalam interval waktu yang panjang adalah seperti membaca patahan – patahan mozaik dalam garis waktu dan lokus di mana penulis terlibat di dalamnya,” ungkapnya.  

Lebih lanjut Muhmammad Natsir Tahar mengatakan bahwa, di luar teks, kita juga perlu membaca pengembaraan spritual, pendewasaan intelektual, pemutakhiran diksi bercampur dengan suasana kebathinan dan faktor eksternal yang ikut memengaruhi ritma buku ini. Sebagaimana seorang penulis yang sarat pengalaman, bung Griven tentunya piawai dalam membolak – balik cara berpikir divergen (idea generation) untuk memproduksi hal-hal baru dan konvergen (idea analysis) untuk menganalisa problema kekinian.

“Dalam potongan tulisan berjudul Celana Tak Berpisak penulis mendambakan suasana kebaruan sekaligus pembaruan, demi melihat banyak hal tak selesai dari generasi pendahulu. Celana Tak Berpisak menjadi sebuah majas ironi, yang dalam Melayu melakonkan seorang pria yang maskulinitasnya merosot. Kebalikan dari Celana Tak Berpisak menjadi harga mati untuk kejantanan entitas Melayu. Berbeda misalnya bila kita mengamati standar maskulinitas dari Raja Louis XIV yang memakai stocking dan sepatu high heels, atau Kilt pakaian tradisional pria Skotlandia yang menyerupai rok mini,” ungkap Kolumnis yang amat menyukai filsafat ini.

“Bung Griven juga menegaskan inferioritasnya sebagai bangsa, yang saban waktu mendapat usikan dari jiran Malaysia. Ia menghadirkan spirit Bung Karno sebagai sosok yang tepat agar Indonesia tidak lagi dilihat sebelah mata. Bung Griven oke punya!” Demikian ungkap Muhammad  Natsir Tahar.

Sementara Umar Zein, Sastrawan Doktor yang dokter dari Universitas Islam Sumatera Utara menyatakan bahwa membaca buku Celana Tak Berpisak ibarat menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh peramu kopi. Ide, bahasa, diksi, alir sastra  meliuk dalam arus tema budaya, religi, dan kebangsaan mem bentuk tulisan ibarat bubuk kopi, gula dan air yang lebur dalam cangkir. Kemudian diaduk di dalam cangkir Celana Tak Berpisak.

 “Kemelayuan dan keislaman kental mengalir dalam bab-bab buku ini. Kritik santun kepada masyarakat Melayu Riau serta Pemerintah kurasa layak ditulis, tentu dengan niat baik seorang Griven. Menukilkan beberapa tokoh sastrawan, penyair, ustaz, bahkan Rasul tentu saja seiring dengan tema buku. Pergumulan tema dipercik pula dengan sekelumit hikayat daerah yang sudah nyaris tak terbaca oleh generasi milineal,” ungkapnya.

Terlepas dari semua yang disampaikan para penikmat buku Celana Tak Berpisak di atas, yang jelas buku ini telah menjadi satu tapak tamadun yang agaknya patut untuk dikenang dan diikuti jejak langkahnya oleh anak Riau khususnya, Indonesia umumnya, serta puak Melayu Nusantara lainnya pada masa kini dan akan datang. Dan sejatinya, buku ini menjadi rujukan penting bagi para pemegang kebijakan dalam menentukan arah pembangunan di masa depan agar selalu duduk memegang tuah, tegak menjunjung marwah.

Ya, buku fenomenal ini ditulis Griven H Putera yang lahir di Rantaubaru, Riau pada 28 Juli 1976. Anak dari Abdul Gani Yusuf dan Nurhayati. Suami dari Dedes Handayani telah dikaruniai beberapa anak yaitu Najwa H Hariry, Fikraneil H Nouran, Waly H Mursyidan dan Muhammad H Mumtazan.   Ia merupakan ASN Kanwil Kemenag Riau, dan sastrawan Indonesia yang telah menulis beberapa buku, di antaranya Lelaki Pembawa Kain Kafan (novel), Tenggelam (kumpulan cerita pendek), dll. Beberapa tulisan pernah tersebar di Republika, Riau Pos, Batam Pos, Majalah Annida, Majalah Sagang, Majalah Sastra Berdaulat, Harian Waspada, dan lainnya.

Beberapa kali memperoleh penghargaan, seperti Anugerah Sagang Kategori Buku Pilihan (2001), Anugerah Seni dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (2009), Raja Ali Haji Award dari Gerakan Masa Depan Indonesia Provinsi Riau dan UIN Suska Mengajar (2016). Mengikuti berbagai even kebudayaan seperti di Pekanbaru, Jakarta, Banjarmasin-Kandangan, Batam, Selangor, Perak, Johor, Bintan, dll.  Pernah punya kolom khusus di Tribune Pekanbaru, Koran Riau dan Majalah Dinamis Kanwil Kemenag Riau. Griven H Putera bersekolah dasar di SDN 003 Rantaubaru, Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang. S1 dan S2 IAIN Susqa Pekanbaru. (Sedang S3) di UIN Suska Riau. ***

Laporan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook