BOGOR (RIAUPOS.CO) - Kondisi alam Indonesia memiliki lahan yang subur dan sumber daya alam kaya. Namun demikian, proses perubahan fisik dan kimia di permukaan dataran Indonesia cenderung intensif. Artinya negara kita, jika sedikit saja salah tata kelola, proses degradasi lahan akan terjadi dan cenderung meluas. Indonesia termasuk negara dengan laju sedimentasi terbesar di dunia, yaitu lebih dari 250 ton/km2/tahun.
"Tingkat dissection tinggi di berbagai lanskap dan tersebar di berbagai belahan negeri ini merupakan fitur hasil proses geomorfik yang merepresentasikan kondisi tersebut," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono di Badan Diklat KLHK Serumpin, Bogor, Sabtu (16/3) kemarin.
Berdasarkan laporan BAPPENAS pada 2015 lalu menyatakan, kerugian ekonomi akibat erosi di Pulau Jawa tahun 2005 sebesar 400 USD juta per tahun. Secara total kuantitas air seluruh pulau di Indonesia terjadi surplus sebesar 449.045 juta m3. Namun untuk Jawa dan Bali terjadi defisit sebesar 105 milyar m3 dan Nusa Tenggara defisit sebesar 2,3 milyar m3.
Kata Bambang, saat ini sekitar 1,9 miliar orang hidup di daerah yang terancam krisis air. Sebanyak 1,8 miliar orang mengonsumsi air yang tidak layak minum karena terkontaminasi polutan. Secara global, 80 persen air limbah dibuang ke alam tanpa melalui proses pengolahan. Jumlah orang yang berisiko terdampak bencana hidrometeorologis akan meningkat dari 1,2 miliar saat ini ke 1,6 miliar pada 2050.
"Harus kita ingat bahwa urusan pelestarian alam bukanlah masalah kecil karena menyangkut masa depan anak cucu dan cicit kita. Memang sebenarnya saat kita menanam pohon kita itu sedang menanam doa, menanam harapan, menanam kerja kita semuanya untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang. Dan kita semua sudah melihat sendiri apa akibatnya bila kita tidak merawat alam. Main asal tebang pohon akhirnya bencana, seperti banjir yang datang dan akan menyusahkan kita, menyusahkan rakyat," pungkasnya.(adv)