Disebutkannya juga contoh lain tentang bagaimana Jokowi berada dalam tataran membuat sampiran dalam politik. Kisah Rizal Ramli yang ribut dengan sejumlah menteri tidak ketinggalan sebagai contoh pantun Jokowi tersebut dengan dugaan bahwa Jokowi memang menghadirkan Rizal dalam kabinet untuk berbuat semacam itu sebagai teguran darinya. Membiarkan Puan Maharani yang masih berstatus anggota DPR sampai sekarang setelah dilantik menjadi menteri, juga sebuah sampiran.
Cuma sekarang, tidak dipersoalkan bagaimana sebuah sampiran yang baik. Banyak sekali ditemui pantun yang sesungguhnya, memiliki sampiran tidak masuk akal, bahkan rumus pantun hilang walaupun si penutur menyebut apa yang dituturkannya sebagai pantun. “Tapi pasti, sampiran itu samar-samar kan?” tulis Wahab.
Ah, entahlah. Saya tak tahu semuanya itu. Selama ini memang tidak terdengar teori pantun dalam politik. Tetapi bolehlah kata “pantun” itu dipakai bukan dalam pengertian harfiah, tetapi hakikatnya. Sama halnya ketika hakikat drama menjadi bagian dari pembahasan politik, sesuatu yang sederhana, tetapi dibesar-besarkan dengan pengembangan karakter aktor baik sebagai pemain utama maupun figuran, sampai terkesan sebagai hipokrit. Begitulah agaknya ya....***