Jual Beli Data Kependudukan Via Medsos
Topik atau peristiwa selanjutnya di sektor TI yang cukup menyita perhatian di tahun 2019 adalah soal jual beli data kependudukan via media sosial (medsos). Data kependudukan yang kedapatan diobral di medsos adalah Kartu Tanda Penduduk.
Adalah Samuel Christian Hendrawan, pemilik akun Twitter @hendralm yang pertama kali menemukan adanya praktik jual beli data kependudukan di medsos. Hendra kemudian memviralkan temuannya lewat utas Twitter dan kemudian mendapat banyak dukungan dari warganet. Yang mengejutkan lagi, data dijual dengan murah dan mudah.
Kasus ini menjadi semakin panas manakala beredar kabar bahwa Hendra dipolisikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas temuan dan cuitannya di Twitter mengenai temuan jual beli data kependudukan. Warganet yang geram memberikan dukungan penuh untuk Hendra mengungkap kasus ini dan semakin menjadi perbincangan hangat.
Mengklarifikasi kabar Hendra dipolisikan oleh Kemendagri, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh menggelar pertemuan dengan Hendra, pemilik akun Twitter @hendralm. Pertemuan tersebut sempat berlangsung di Pusdiklat Kepemimpinan Lembaga Administrasi Negara (LAN), Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8) silam.
Dalam pertemuan tersebut, Hendra meminta klarifikasi apakah benar dirinya dipolisikan oleh Kemendagri. Hal ini terkait unggahannya di Twitter yang mendapati adanya praktik jual beli data kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dan kartu keluarga (KK) yang dilakukan sejumlah akun di media sosial.
Zudan lantas menegaskan bahwa pihaknya tidak melaporkan Hendrawan, melainkan melaporkan adanya kasus jual beli data tersebut. “Saya sampaikan bahwa kami dari Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri melaporkan adanya peristiwa jual beli data kependudukan. Tidak melaporkan Mas Hendra,” ujarnya kepada wartawan.
Menurut Zudan, pihaknya malah ingin mencari pelaku yang menjual data dan tidak melaporkan Hendrawan ke polisi. “Yang ingin kita cari adalah pelaku jual beli data, pelaku yang menyalahgunakan data kependudukan,” sambung Zudan.
Sementara itu, Hendra menerangkan bahwa data-data NIK, KTP, dan KK yang ada dalam praktik jual beli sebenarnya bukan dari pemerintah, melainkan ada oknum yang memang mencuri data tersebut. Menurutnya, ada beberapa modus yang digunakan para oknum pencuri data kependudukan untuk kemudian dijual-belikan.
Lebih lanjut, oknum pencuri data itu membuat akun di situs jual beli. Mereka kemudian berpura-pura menjadi pembeli kemudian meminta data diri targetnya dengan alasan kepercayaan. Pelaku meminta KTP target, pelaku juga mengirimkan KTP-nya namun menggunakan foto palsu dan KTP orang lain.
Kedua, masih dari situs jual beli, ada pula pelaku yang berpura-pura menyediakan lowongan kerja. Caranya sama dengan yang pertama. Modus ketiga melalui aplikasi di Google Play Store yang banyak menyediakan aplikasi untuk pengecekan KTP dan data lainnya. Padahal, aplikasi tersebut bukan milik pemerintah.
"Modus keempat melalui sms spam dengan modus menawarkan pinjaman dana atau uang tanpa jaminan dengan mengirim KTP saja. Selain itu, mereka juga bisa datang ke kampung-kampung dengan memberikan sembako dengan syarat memberikan data dirinya berupa KTP atau KK," jelas Hendra.
Pertemuan Zudan dengan Hendra difasilitasi oleh Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto. Damar mengatakan bahwa apa yang disampaikan Hendra adalah wujud anak muda yang berani, juga sebagai bentuk dari partisipasi masyarakat yang peduli pada data pribadi.
Menurutnya, hal tersebut juga menjadi momentum yang bagus untuk semua pihak baik masyarakat atau pemangku kepentingan bahwa era digital ini mereka dihantui oleh ancaman keamanan data pribadi. Hal ini sekaligus untuk mendorong payung perlindungan privasi bisa cepat terbentuk.
Damar menilai bahwa praktik jual beli data pribadi yang dilakukan di medsos merupakan organize crime atau kejahatan yang terkoordinasi. Kejahatan tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri. “Suka nggak suka kita harus memperhatikan perkembangannya. Kalau dilihat dari bagaimana cara mengumpulkan data, satu orang tidak mungkin mengumpulkan data berjuta-juta lembar. Pasti ada sebuah organisasi yang melakukan ini,” tegas Damar dalam sebuah diskusi terkait perlindungan data pribadi.
Mencuatnya dugaan jual beli data pribadi dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di media sosial yang viral belakangan tentu membuat resah masyarakat. Terlebih menyangkut privasi dan perlindungan data diri. Hal tersebut membuat ICT Watch mendesak pemerintah segera merampungkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Program Koordinator ICT Watch, Indriyatno Banyumurti menjelaskan, berangkat dari kasus yang viral di Twitter oleh unggahan akun @hendralm yang menampilkan adanya praktik jual beli data di medsos, ICT Watch mendesak Kementerian atau lembaga terkait RUU PDP untuk mengesampingkan ego sektoral. Hal tersebut guna mengedepankan kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya dalam memberikan kepastian regulasi dan PDP.
Dirinya juga meminta perhatian serius dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan jajarannya untuk memastikan bahwa dokumen Rancangan Undang-undang (RUU) PDP dapat segera diserahkan kepada DPR untuk dapat mulai dibahas pada tahun ini. Pelibatan pemangku kepentingan majemuk juga dikatakan harus lebih inklusif dalam setiap pembahasan lanjutan terkait RUU PDP dengan azas transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Lebih jauh, dirinya juga meminta adanya peran dan kehadiran yang lebih serius dan signifikan dari pengampu kebijakan semisal Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat Indonesia. Hal tersebut terkait dengan maraknya penyalahgunaan data pribadi dan pelanggaran privasi melalui sejumlah layanan dan atau platform online.
Pembatasan Ponsel BM dengan IMEI
Selanjutnya, peristiwa TI yang juga menyangkut masyarakat luas di tahun 2019 adalah ditandatanganinya aturan pontrol perangkat smartphone dan komputer tablet Ilegal atau Black Market (BM) menggunakan validasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) oleh tiga Kementerian. Kementerian yang terlibat dalam aturan yang akan disahkan mulai April 2020 mendatang ini disahkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Aturan ini kemudian menjadi buah bibir di masyarakat. Sebagaimana diketahui, jauh sebelum aturan ini disahkan, peredaran ponsel atau smartphone juga tablet ilegal memang sangat massif. Peredaran smartphone BM sangat liar dan tak terkontrol. Barang BM dapat dengan mudah dijumpai dan dibeli dengan harga murah. Peredaran perangkat ilegal juga ditambah dengan kebiasaan membeli atau membawa ponsel dari luar negeri.
Aturan ini rencananya ditandatangani oleh tiga Kementerian pada Agustus lalu. Molor, regulasi pengendalian perangkat dengan IMEI baru diteken tiga Kementerian di detik-detik akhir menjelang akhir masa jabatan para Menteri Jokowi di Kabinet Kerja yakni padapertengahan Oktober.
April 2020 mendatang, pemerintah menjadwalkan aturan kontrol perangkat ponsel ilegal atau Black Market (BM) dengan validasi IMEI diterapkan. Setelah berlaku, perangkat ponsel BM baru tidak lagi dapat menggunakan layanan telekomunikasi seluler dari seluruh operator di Indonesia karena nomor IMEI-nya akan divalidasi.
Selain tiga kementerian tersebut, operator seluler juga dilibatkan sebagai eksekutor pemblokiran perangkat untuk tidak dapat terkoneksi oleh jaringan seluler jika didapati IMEI ponsel yang bersangkutan tak terdaftar di database kementerian terkait tadi. Menjelang aturan yang akan berlaku sekira empat bulan lagi, operator seluler melalui Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengaku siap untuk menjalankan aturan tersebut. Meski siap, ATSI menyampaikan bahwa mereka terlebih dahulu harus menunggu sampai teknis operasi aturan tersebut jelas mengingat masih ada masalah investasi alat yang tak murah yang belum jelas akan menjadi tanggung jawab siapa. Hal tersebut disampaikan oleh Board Member ATSI Arief Musta’in di Jakarta, belum lama ini.
"Kita masih mendiskusikan lagi. Karena peraturan kementerian kan sudah ada, yang kita tunggu kan peraturan Dirjen. Jadi detailnya, aturan per Dirjen itu yang nanti jadi pegangan kita sehingga untuk IMEI memang lagi nunggu detail teknis pelaksanaannya bagaimana," ujar Arief kepada awak media.
Arief melanjutkan, bagi operator seluler, pihaknya siap mendukung selama tujuannya untuk kesehatan industri dan kepentingan bangsa karena untuk mengurangi penyelundupan. “Operator seluler siap, setelah teknis operasinya jelas, kita ikuti,” tegas Arief.
Dia juga menyebut bahwa sejak wacana aturan ini digaungkan, ATSI sudah dan rutin berdiskusi dengan pihak terkait dalam hal ini Dirjen Sumberdaya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Ismail.
“Diskusi sama Pak Ismail sudah panjang kali lebar kali tinggi. Karena diskusinya banyak, karena menyangkut industri banyak, Kemendag, impor device, dan hal lain karena ini menyangkut tiga kementerian,” lanjutnya.
Sementara ditanya soal investasi alat Equipment Identity Register (EIR), hal yang selama ini menjadi sorotan ATSI mengenai beban investasi yang harus ditanggung siapa, Arief enggan menjawab lebih rinci.
“Investasi EIR gimana? Itu yang penting perlunya pendalaman level teknis. Karena keputusan Menteri masih high level. Nanti teknisnya akan diatur mana yang iya mana yang nggak,” tandas Arief.
Untuk aturan kontrol perangkat smartphone atau komputer tablet ilegal dengan IMEI, secara sederhana, jika aturan ini sudah diterapkan, siapapun yang kedapatan membeli atau memilki ponsel BM dan IMEI-nya tidak tembus (tidak cocok) atau tidak terdaftar di sistem basis data IMEI nasional oleh pemerintah, maka ponsel tersebut secara otomatis nantinya tidak akan dapat terkoneksi ke jaringan seluler manapun di Indonesia, oleh karenanya aturan ini juga melibatkan operator seluler.
Pergantian Menkominfo
Topik seputar TI di Indonesia sepanjang 2019 yang tak kalah menyita perhatian adalah pergantian atau transisi pemerintahan yang baru. Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Ma’aruf Amin menunjuk sejumlah menteri baru. Pos kementerian teknis seperti Kemenkominfo tak luput dari penggantian menteri yang pada periode 2014-2019 digawangi Rudiantara digantikan oleh politikus Partai Nasdem Johnny Gerrard Plate menjadi Menkominfo baru untuk periode 2019-2024.
Penunjukan Johnny menjadi Menkominfo langsung mendapat sorotan. Banyak pihak menilai Johnny yang tak memiliki background profesional dibidang TI tak cocok menduduki kursi menteri yang notabene banyak melibatkan hal teknis ini.
Menkominfo masa jabatan 2014-2019 Rudiantara resmi melepas jabatannya yang telah diemban selama lima tahun. Posisinya sebagai Menkominfo resmi digantikan Johnny dan langsung dilaksanakan prosesi serah terima jabatan (sertijab) Menkominfo baru ini digelar di Gedung Kemenkominfo, Jakarta, Rabu (23/10) lalu.
Johnny pada kesempatan tersebut mengaku masih berusaha mencari tahu dan mempelajari seluk beluk Kemenkominfo. “Hari ini saya secara resmi menjadi Menkominfo. Saya sendiri masih mencari tahu apa itu. Ini bukan periode awal, tapi lanjutan. Jadi saya tidak perlu ditanya program seratus hari atau seribu hari, tapi kontinuitas yang sudah dibangun,” ujar Johnny.
Lebih jauh, dirinya menyebut bahwa pada kepemimpinannya, Kemenkominfo ingin agar masyarakat tahu arah kebijakan negara. “Kedua, apa capaian negara, jangan sampai masyarakat tidak tahu capaian negara. Kita punya infrastrutkur, rakyat perlu tahu di mana itu dan bisa menggunakannya,” lanjutnya.
Meski bukan dari latar belakang digital maupun teknologi informasi (IT), Johnny mengaku siap mengembangkan sektor digital. Sayang, dirinya tak menyebut secara spesifik aspek digital mana yang ingin dikembangkan selama menjabat Menkominfo ke depannya.
“Digital juga kita perlu perhatikan. Saya bukan latar belakang dari informatika, tapi saya harap kita bisa bersama lakukan kewajiban sesuai amanat undang-undang. Kita harus selesaikan cepat, payung hukum terkait perlindungan data karena kita harus menghubungkan bangsa kita dengan bangsa lain,” tandasnya.
Pada kesempatan tersebut, Menkominfo periode 2014-2019 Rudiantara juga menyerahkan ‘memori jabatan’. Memori itu berisi angka-angka capaian objektifnya dan output Kemenkominfo selama masa kepemimpinannya.
Rudiantara kepada Johnny G Plate juga sempat menyinggung soal Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang akan menjadi pekerjaan rumah Kemenkominfo selanjutnya. “Sektor kita punya tantangan. Perlindungan data pribadi. Kominfo sudah siapkan rancangan dan sudah tanda tangan, tapi harus harmonisasi dengan undang-undang lain,” kata Rudiantara.
“Revisinya sudah saya tanda tangan lagi dan dibawa di Setneg. Mudah-mudahan beliau yang biasa di Senayan (DPR/MPR) bisa memuluskan penyelesaian UU PDP,” lanjut Rudiantara.
Saah satu yang menyoroti terpilihnya Johnny G. Plate sebagai Menkominfo dari kalangan politisi, bukan profesional seperti Rudiantara adalah Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet). Mengingat Kementerian teknis digawangi oleh sosok yang bukan dari kalangan profesional, kiprah Johnny di Kemenkominfo diragukan.
Executive Director SafeNet Damar Juniarto menyebut, Johnny berasal dari parpol Nasdem dan berlatar belakang pengusaha memiliki rekam jejak yang minim di bidang komunikasi. “SafeNet mencatat Menkominfo yang baru ini memiliki keberpihakan pada isu-isu media dan kebebasan berekspresi,” ujar Damar.
Lebih jauh, dia menjelaskan, SafeNet menilai kembalinya jatah kursi Menkominfo ke parpol menunjukkan arah gerak Kemenkominfo ke depan perlu diawasi. Hal tersebut terkait banyaknya persoalan yang harus segera diselesaikan oleh Johnny.
“Tidak seperti periode 1 pemerintahan Jokowi, kali ini Jokowi tidak meneruskan memilih calon menteri dari kalangan profesional, tapi mengambil calon menteri dari kalangan parpol,” lanjut Damar.
Adapun sejumlah masalah di Kemenkominfo yang menurut SafeNet perlu segera diatasi adalah mencabut pasal-pasal karet di UU ITE. Penerbitan Undang-undang perlindungan data pribadi (PDP) juga dinilai perlu dipercepat.
Selanjutnya, Damar meminta Kemenkominfo menghentikan kebiasaan pemadaman internet. Hal tersebut beberapa kali dilakukan pemerintah saat situasi di Indonesia beberapa waktu lalu sempat dianggap tak kondusif terkait dengan beberapa aksi kerusuhan.
Sementara poin sorotan lainnya, antara lain, memperjelas mekanisme penapisan internet, memperbaiki isi pasal 26 UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk sensor, menyusun UU Keamanan Siber yang menghormati keamanan individu, memperbaiki upaya penanggulangan hoaks dengan melibatkan multi-stakeholders, menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lewat daring secara serius dan memperbaiki UU Penyiaran agar menjaga tetap demokratis dan independen.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal