JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, ikut mengomentari perseteruan antara Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Wali Kota Medan Bobby Nasution.
Qodari melihat tiga hal yang memiliki potensi konflik antara kedua kepala daerah itu akan berlangsung panjang dan besar.
Pertama, perbedaan basis konstituen. Edy datang dari kelompok konstituen yang berbeda dengan Bobby. Hal itu tercermin dari arahnya lebih kepada konstituen yang sama dengan Ustaz Abdul Somad (UAS).
“Edy dulu kampanye Pilgub dengan dukungan Ustaz Abdul Somad, seperti halnya UAS dukung Akhyar Nasution dalam Pilwako Kota Medan, di Desember 2020 yang lalu. Bedanya, Edy berhasil mengalahkan Djarot Saiful Hidayat, sedangkan Akhyar dikalahkan Bobby Nasution. Jadi, konstituennya itu memang kira-kira bedalah,” kata Qodari, Ahad (9/5/2021).
Kedua, perbedaan latar belakang. Adanya perbedaan latar belakang antara Edy dan Bobby sehingga mempengaruhi konsep, cara atau gaya kepemimpinan dan pendekatan berbeda dalam menjalankan pemerintahan.
Edy sebagaimana diketahui memiliki latar belakang militer, mantan Pangkostrad, sementara Bobby dari kalangan sipil.
Menurut Qodari, konflik Edy dengan Bobby mengingatkan dirinya dengan konflik pada pertengahan tahun 2011 antara Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, dengan Wali Kota Solo ketika itu, Joko Widodo.
Menurutnya, kala itu Bibit menyebut Jokowi "bodoh" karena menolak rencana pembangunan mal di atas lahan bangunan kuno bekas Pabrik Es Saripetojo yang berlokasi di Purwosari, Laweyan, Solo.
“Dulu, Gubernur Jawa Tengah pernah berseteru dan menyebut Pak Jokowi 'bodoh' ketika itu. Pak Jokowi adalah Wali Kota Solo, kebetulan memang latar belakang Pak Edy ini mirip banget dengan Pak Bibit, sama-sama militer, sama-sama pernah menjadi Panglima Kostrad. Bibit berseteru dengan Jokowi. Mirip Edy vs Bobby sekarang ini,” beber Qodari.
Ketiga, ada nuansa kompetisi terselubung. Qodari memprediksi perseteruan akan panjang karena selain beda konstituen, Edy bisa saja melihat Bobby sebagai lawan potensial untuk masa jabatan kedua di Pilgub Sumut 2024.
“Jadi, dalam konteks ini kebijakan publik itu menjadi lebih rumit,” ujar Qodari.
Selain itu, menurut Qodari, fenomena perselisihan antara kepala daerah bukan hal yang baru. Contoh wilayah lain yang bersitegang yaitu Provinsi Lampung, yakni Gubernur Ridho Ficardo berselisih dengan Wali Kota Bandar Lampung Herman Hasanusi.
Qodari berharap nuansa kompetisi pilkada jangan sampai mengganggu kebijakan publik. Untuk itu, pihak Edy maupun Bobby harus menurunkan ego masing-masing dan berpikir untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.
“Justru kepentingan masyarakat itu hemat saya harus menjadi titik temu antara keduanya,” ujar Qodari.
Diketahui, hubungan Edy dan Bobby merenggang diawali dari persoalan kawasan Kesawan City Walk yang terletak di pusat Kota Medan. Ada sejumlah bangunan bersejarah, seperti Rumah Tjong A Fie hingga Gedung London Sumatera, yang ada di sekitar Kesawan City Walk, Jalan Ahmad Yani, Medan.
Keberadaan kawasan wisata kuliner di Kesawan ini menjadi salah satu program andalan Bobby Nasution dan selalu ramai sejak mulai diluncurkan.
Keramaian, batasan jam tutup serta aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat pandemi Corona menjadi pemicu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi geram.
Setelah Kesawan City Walk, perseteruan kembali mencuat. Hal itu bermula saat Bobby memprotes Edy karena menganggap Pemerintah Sumatera Utara tidak melakukan koordinasi dengan pihak Kota Medan soal lokasi karantina WNI yang baru tiba dari luar negeri di Medan.
Bobby menyebut lokasi karantina WNI itu tersebar di lima hotel dan beberapa kantor milik Pemprov Sumut yang ada di Medan. Dia menilai seharusnya Pemprov Sumut memberi tahu Pemko Medan soal lokasi karantina itu.
Selain itu, Edy juga dianggap terlalu ikut campur urusan "dalam negeri" Bobby sebagai Walikota Medan, termasuk "pembersihan" yang dilakukan Bobby kepada para pejabat Kota Medan yang dianggapnya tak cocok dan tak mengikuti kebijakannya.
Sumber: JPNN/News/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun