ESAI : AHMAD NAUFEL

Ilusi Elitisme Sastra Indonesia

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2016 - 11:54 WIB

Dalam suatu kesempatan saya diajak seorang teman mengikuti acara sastra yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas di Yogyakarta. Entah kebetulan atau tidak, yang jelas pada acara tersebut dihadiri hanya oleh kalangan kritikus, sastrawan dan mereka yang bergiat di komunitas sastra. Saya kemudian berkesimpulan bahwa ini adalah panggung sastrawan untuk sastrawan. Sangat jarang sekali acara sastra dihadiri oleh kalangan yang bergiat di luar arus kesusastraan.

Sastra Indonesia tampil dengan corak yang elitis. Justifikasi yang demikian tentu akan mengundang wacana dikalangan pegiat sastra. Elitisme itu dapat ditemukan dari tendensi sastra yang tidak populis. Populisme sastra bukan sekedar karya yang mengemban misi suara rakyat tetapi terletak pada penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya. Tidak terjebak di lingkaran sempit para sastrawan semata.

Baca Juga :Membangun Eksistensi dan "Bertarung" di Jalan Sunyi

Padahal saat ini kebebasan berekspresi (freedom ekspression) sudah tidak dikekang oleh penguasa. Pada masa Orde Baru, saat kebebasan terkekang, sastrawan muncul dengan membawa misi universal dari rakyat untuk rakyat. Turun dari atas menara gading dan membaur dengan kehidupan masyarakat. Hal ini dibentuk karena ada musuh bersama yang harus dilawan oleh sastrawan dan rakyat yaitu rezim Orde Baru. Pergumulan tersebut mampu menciptakan kelindan dan kesadaran sastrawi di tengah kehiduapan berbangsa. Karena sastra dijadikan medium perlawanan.

Dalam perkembangan belakangan, intensitas sastra lebih menekankan kuantitas dan melupakan kualitas. Para sastrawan muncul berkecambah karena bentukan media massa. Alih-alih memikirkan kualitas, justru terperosok dalam ilusi popularitas. Ini adalah tanda bahwa sastra kita saat ini terpelanting jauh dari idealisme. Menepi dari realitas yang dialami rakyat. Berbeda misalnya dengan Pramoedya Ananta Toer yang begitu gigih dan tekun menulis hanya demi kemaslahatan bersama. Karya-karyanya dibaca publik sebagai pemantik api perjuangan.

Menjamurnya karya sastra tidak dapat dijadikan patokan dari bangkitnya pergumulan publik dengan sastra. Ruang-ruang artifisial menjadi arena aktualisasi dari sastrawan yang hanya mengejar eksistensi diri dan populerisme. Begitu banyak perbincangan sastra di media-media virtual yang orientasinya semata hanya untuk dikenal oleh khalayak. Yang dipentiangkan eksistensi diri bukan kedalaman sebuah karya agar tampil secara populis. Genealogi dari semua ini adalah gejala Narcisus yang diidap oleh sastrawan.

Bukankah sosok seorang sastrawan sejajar dengan posisi Nabi? Adonis tidak segan menyejajarkan ‘jalan kepenyairan’ dengan ‘jalan kenabian’. Baginya azwaq al-adabi (cita rasa sastra) sanggup menggapai tangga tertinggi dan dapat menangkap pesan profetik layaknya seorang Nabi. Posisi kenabian selalu menanggung misi untuk menyampaikan amanah Tuhan kepada umatnya. Dalam sejarah kenabian tidak ada seorang Nabi yang hidup tanpa pengikut atau umat. Misi profetik itu dalam pandangan Kuntowijoyo mengandung spirit liberasi, humanisasi dan transendensi yang harus diejawantahkan dalam hidup ini.

Seorang sastrawan setidaknya mampu meresepsi pesan profetik tersebut, jika tidak, posisinya yang sejajar dengan Nabi itu hanyalah ungkapan aus yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Setiap minggu, kita selalu disesaki dengan perbincangan hangat soal karya sastra yang dimuat di berbagai koran baik skala nasional maupun lokal. Rupanya kuantitas menjadi tolok ukur dan mereka begitu bangga saat karyanya dimuat, seolah ingin meneguhkan bahwa “akulah sastrawan”. Sebegitu gampangnya. Padahal, karya-karya mereka hanya riuh dalam sekejap. Senyap dikemudian hari.

Putu Wijaya dalam artikelnya Reposisi Sastra Indonesia mengalami keresahan dengan keadaan sastra belakangan ini. “Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini, selalu diidentifikasi sebagai karya indah yang tertulis. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Tetapi kesinambungannnya dengan ratio, pemikiran dan telaah-telaah, sudah dipreteli habis. Maka sastra menjadi penari striptease. Penyebar keindahan, yang menimbulkan klangenan, kenikmatan, dan akhirnya kealpaan serta bencana”. Ironis saat keindahan-keindahan yang lahir dari sastrawan belakangan ini semakin sepi apresiasi dari khalayak.

Ada jarak yang begitu lebar antara sastrawan dengan khalayak. Kalangan pegiat sastra, mungkin akan berargumen bahwa keadaan semacam ini terjadi karena khalayak kehilangan daya kontemplatif, reflektif dan kesadaran sastrawinya akibat bius budaya pop. Di titik ini pula, sastrawan dituntut setidaknya memikirkan kembali formulasi sastra yang sesuai dengan konteks kehidupan saat ini. Bukan malah merasa nyaman dengan posisinya karena menjadi sekelompok minirotas yang elitis di tengah-tengah publik dan tidak menghampa pada banalitas budaya pop.

Sastrawan dituntut tidak hanya pandai bertutur soal embun, hujan, daun gugur, senja atau rembulan tetapi lebih dari itu ia harus faham format sosial dan kehendak yang diinginkan khalayak. Damhuri Muhammad, jauh-jauh hari sudah mengingatkan keganjilan seperti itu dalam dunia kesusastraan kita. Nuansa estetis memang penting tetapi jangan sampai terjebak dalam kerangka bentuk semacam itu, kedalaman makna harus dijadikan tumpuan untuk terus diperjuangkan oleh sastrawan. Karena karya yang bagus mengandung makna yang mendalam, dapat diapresiasi oleh khalayak tanpa harus mengumbar ke sana-ke mari karya tersebut.

Di Swedia, sepanduk-sepanduk yang membantang diisi dengan kutipan-kutipan sastra (Yudi Latif: 2004). Di Indonesia sastra dimarginaliasasi dan kurang apresiasi. Di samping elitisme yang ditampilkan sastrawan belakangan, pemerintah juga kurang apresiatif terhadap eksistensi sastrawan. Menilik konsepsi Antonio Gramsci, sastrawan harus mampu menjadi seorang ‘intelektual organik’.Seorang yang telah terbebas dari belenggu egoismenya dan bersikap egaliter, berbaur, melakukan dialektika dan mengemban misi etis demi kebaikan kehidupan bersama. Keluar dari kultur elitisme sastra dan mampu diterima khalayak adalah prasyarat agar sastra tidak mengawang dalam ilusi tetapi membumi dalam praksis kehidupan.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook