TIGO TUNGKU SAJARONGAN

Menjaga Masyarakat, Menjunjung Adat

Seni Budaya | Minggu, 20 Desember 2020 - 11:40 WIB

Menjaga Masyarakat, Menjunjung Adat
Ilustrasi

Contoh kesalahan yang akan diberikan sanksi adat kepada masyarakat atau pelaku kesalaan antara lain, hamil di luar nikah. Dalam kasus ini, Mamak kedua belah pihak (lelaki dan perempuan) bersepakat menyampaikan kepada imam masjid agar keduanya segera dinikahkan. Sesudah nikah keduanya dibawa ke masjid untuk ditobatkan dan dicambuk tujuh kali dengan sepuluh lidi.  Malam harinya, ninik mamak, cerdik pandai dan lan-lain, dijemput ke rumah perempuan. Di sinilah persoalan hutang adat harus dibayar.

Untuk sikap melanggar adat ini dikenakan hutang satu ekor kambing dan nasi gulai. Artinya, seekor kambing disembelih lengkap dengan nasi dan gulai. Lalau diundang tokoh adat dan pemuka masyarakat untuk makan bersama-sama. Pada saat ini, mamak adat menating (memberikan) sirih kepada salah satu ninik mamak bahwa hutang adat sudah dibayar dengan kata-kata: rupo dapek diliek, putiah kapeh dapek diliek, putiah hati berkeadaan (rupa dapat dilihat, putih kapas dapat dilihat, putih hati berkeadaan).


Kepala kambing yang disembelih itu dibagi dua dan diletakkan ke dalam piring. Sebelah untuk Datuk Menaro Sati, sebelah lagi untuk imam. Kemudian, datuk dan imam membagikan atau memutar kepala kambing sehingga semua yang datang dapat mengenyam (mencicipi) kepala tersebut.

Kemudian salah satu ninik mamak menating sirih kepada Datuk Menaro Sati dengan isi kata yang disampaikan antara lain memiliki arti: salah kepada manusia minta maaf, salah kepada Allah minta ampun. Lelaki dan perempuan dalam perkara ini juga disuruh  membersihkan pekarangan masjid.

‘’Kalau 50 tahun lalu, pasangan lelaki dan perempuan yang hamil di luar nikah tidak hanya dihutangkan satu ekor kambing dan membersihkan pekarangan masjid, tapi juga diarak keliling kampung. Ada adat yang memang asli adat, harus dijalankan. Tapi ada adat yang diistiadatkan. Niat tahunan, rantau larangan, itu adat yang diistiadatkan. Artinya, kalau tidak dilaksanakan tidak apa-apa. Tidak ada sanksinya,’’ jelas Datuk Sa’danur.

Hutang adat tiga macam. Pertama, hutang paling tinggi atau kesalahan sangat besar, hutangnya 1 ekor kambing tambah 3 ekor ayam, tambah 1 jambar atau nasi kuning tambah kain putih satu tabung atau dua yard atau empat hasta. Contoh hutang adat ini untuk anak gadis menikah dengan lelaki dan pernikahan dilaksanakan di luar kampung. Jika suatu saat ia pulang kampung, maka ia dikenakan hutang tersebut. Selanjutnya hutang besar, yakni 1 ekor kambing. Ini masih termasuk hutang bagian pertama.

Kedua, hutang menengah yakni, membayar ayam 3 ekor. Contoh, dua orang yang terlibat perkelahian atau membuat ribut. Begitu juga laki-laki nikah kawin di luar tanpa izin ninik mamak. Kalau pulang ia dihutangkan ini. Dan ketiga, hutang kecil yakni saling maaf memaafkan.

Contoh sanksi adat yang lain, seperti kelahi, membuat ribut atau gaduh sekampung, orang bersangkutan dihutang kambing. Kalau tak mau bayar, dia tidak dianggap lagi. Kalau gaduhnya kecil, hanya dihutangkan ayam. Menebang pohon tidak seizin datuk seperti pohon kelapa, dihutangkan satu ekor ayam. Ada yang salah karena melanggar adat, dikeluarkan dari adat dan diacuhkan tidak dianggap lalu meninggal, keluarga harus minta maaf sedang hutang seekor kambing tetap harus dibayar. Jika tidak, tontong atau kentungan sebagai tanda orang meninggal tidak akan dipukul atau dibunyikan. Setelah keluarga meminta maaf dan ada jaminan hutang akan dibayar, baru tontong tersebut dibunyikan dan proses pemakaman jenazah bisa dilaksanakan bersama-sama.

Orang yang mencuri karet atau mencuri barang lainnya dan terbukti kesalahannya, ia disanksi adat dengan hukuman berupa pengakuan dari orang tersebut. Kalau karet yang dicuri masih ada, karet tersebut harus kembalikan. Kalau tidak ada lagi atau sudah dijual misalnya, harus diganti  dengan uang seharga karet tersebut. Bukan hanya itu, pelaku harus berkeliling kampung sambil menjunjung karet sambil mengatakan: ‘’saya mencuri karet si anu.. saya mencuri karet si anu.. saya mencuri karet si anu’’. Demikian dilakukan berulang-ulang sambil keliling kampung.

Sikap ninik mamak dalam menyelesaikan sanksi adat selalu berpedoman kepada yang besar diperkecil, yang kecil dihilangkan. Artinya, selagi bisa diselesaikan secara kekeluargaan, diselesaikan terlebih dulu.***

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook