Beberapa seniman Riau dan Indonesia berkesempatan melakukan residensi ke Afrika Selatan (Afsel), 9-22 Februari 2023 lalu. Di sana, ternyata ada komunitas Indonesia dan Melayu yang terbangun lewat Tuan Guru Syekh Yusuf Taj’l Khalwatiyah asal Makassar dan beberapa pemuka agama lain dari Indonesia yang dibuang ke Afsel oleh Belanda.
RIAUPOS.CO - HARI berikutnya, peserta menuju Cape of Good Hope. Perjalanan ditempuh selama 2 jam melalui aspal licin yang dibangun di atas batu gunung yang tajam. Di lokasi angin cukup kencang dan suhu sekitar 17-20 derajat, padahal sedang musim dingin. Kabut tipis, debur ombak yang menghantam karang dan pertemuan arus Samudera Hindia dan Samudera Atlantik membawa imajinasi para residen pada peristiwa berlabuhnya kapal-kapal De Voetboog yang membawa Syekh Yusuf, Syekh Imam Abdullah, dan budak Nusantara lainnya di masa lalu.
“Alsjeblieft Tuan Yusuf… Mohonkan pada Tuhanmu agar kapal ini bisa sandar dengan selamat di tanjung,” kata Aristofani menyampaikan dialog imajinernya pada peristiwa permohonan Kapten Van Beuren kepada Syekh Yusuf karena badai dan arus gelombang menghambat kapal De Voetboog berlabuh, berdasarkan cerita turun-temurun di Cape Town.
Tak ingin larut, Agus sigap menyiapkan perangkat audio video untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut. Agus kemudian mengatur para peserta residensi menuju tebing bebatuan dengan posisi berhadapan dengan Tanjung Harapan untuk sesi rekaman video. Maskur mengambil biola, Lawe mengambil suling, Anggara menyiapkan Gambus, dan Hasan siap dengan Arababu.
Tidak ada komposisi musik yang disiapkan. Kemenyan wangi yang dibakar memprovokasi para komposer mengaktifkan seluruh indera. Merasakan kekuatan angin, bulir air yang menerpa wajah, serta merespon suara gelombang dan hamparan karang. Benda, momen sontak menjadi “teks” kemudian “notasi” untuk berimprovisasi menggunakan bunyi. Sesi ini menjadi arena reflektif, pengalaman ketubuhan dan dialog imanjiner sebagai bekal artistik.
Tempat ketiga, kampung Macasar dan Kramat Syekh Yusuf. Sebelum ziarah, peserta menyempatkan salat Jumat di Masjid Nurul Latif yang dibangun pemerintah Indonesia sebagai penunjang Kramat Syekh Yusuf. Setelah salat, mereka dikejutkan dengan undangan Imam Masjid, Adam Philander, untuk memimpin salawat badar bersama jamaah. Shalawat badar itu ternyata bagian dari rangkaian bai’at 5 warga kulit hitam yang mualaf hari itu. Merasa sebagai tamu yang harus menyambut undangan, maka masing-masing dari diminta diminta bersalaman dengan peserta mualaf, dan menuntun mereka meniru bacaan-bacaan yang diucap Imam Adam.
Peristiwa bai’at mualaf di atas sangat membekas, sebab keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Peristiwa tersebut sungguh sakral, dan mestinya melibatkan orang-orang tertentu. Namun mereka memahaminya sebagai peristiwa yang hanya dapat terjadi akibat sejarah dan ikatan emosional yang kuat di masa lampau, oleh Syekh Yusuf, ketika menyebarkan ajaran Islam di Cape Town tanpa kekerasan.
Paradoks Saudara Se-Malay
Ujung residensi diagendakan presentasi karya yang disusun selama 14 hari di Cape Town. Presentasi pertama dirangkai dengan open kitchen di rumah Thania Peterson. Dicky Senda, Helza Amelia, dan ibunda dari Thania memasak bersama dengan masing-masing membawa bumbu dan menu. Dicky masak bubur gurih dari bahan jagung gose, dan tumis rebung jamur bumbu pala. Dicky membawa bumbu yang diproduksi oleh komunitas Lakoat Kujawas di Desa Mollo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Helza Amelia memasak bakwan jagung dan telur balado yang sederhana ala Riau. Sedangkan ibu Thania masak kari kambing dan sapi ala Cape Malay yang diakui sebagai resep warisan leluhurnya dari Indonesia.
Malam hari, hidangan kolaborasi Riau, NTT, dan Cape Malay tersaji. Para hadirin kolega Thania yang seniman, wartawan, peneliti Smithsonian, dan keluarga Cape Malay “menyelidiki” sensasi makanan di lidah sambil menebak-nebak bahan yang digunakan. Di ruang tamu, ramai musisi berbincang, berkenalan dan bercerita mengenai instrumen musik. Selain musisi dari Indonesia, hadir 20-an personil kelompok paduan suara Young Man Malay Choir. Ada juga Hilton Schelder, pianis dan komposer jazz legendaris Cape Town yang telah memproduksi 40 album, serta Benjamin, pembuat alat musik tradisional Cape Town. Para musisi terlihat serius kong kalikong menyepakati musik apa yang akan di mainkan.
“Baik Hilton dan Benjamin, adalah penyintas apartheid. Mereka seniman musik yang diasingkan ke Inggris oleh pemerintah Afsel,” jelas Itok yang juga Sekjen Asosiasi Seniman Riau (Aseri) tersebut.
Setelah makan, secara bergantian para musisi memainkan musik masing-masing. Indonesia mengawali sajian musik dengan repertoar Tunrung Pa’balle dari Makassar. Setelahnya Young Man menyanyikan lagu berjudul “Batavia” yang bercerita tentang perjalanan leluhur mereka dari Nusantara ke Cape Town. Selanjutnya karya-karya yang disusun oleh Maskur sepanjang residensi. Karya Maskur juga menjadi repertoar kolaborasi dengan Hilton dan Benjamin yang memainkan alat musik berimbau dan ghoema.
Presentasi kedua bertempat di Iziko Museum, Bo-Kaap. Di tempat ini, presentasi diadakan dua kali. Pertama digelar spontan dengan menggelar happeing art di pelataran museum, berarak ke bagian dalam museum. Mengajak warga dan pengunjung museum. Hanya sedikit hadirin yang merupakan warga Cape Malay Bo-Kaap, sebab memang dikondisikan tanpa pemberitahuan. Yang hadir kemudian mengajukan gelar ulang presentasi di museum atas permintaan warga sekitar.
Dua kali presentasi di Museum Bo-Kaap menyajikan 4 repertoar yang disusun sepanjang residensi. Karya Maskur berjudul “Diri”, Anggara menyusun “Benih Cinta”, Suhada-Lawe mengusung “Tugu”, dan karya Hasan Ali berjudul “Kabata Masyrik”. Karya-karya tersebut lahir dengan dorongan hasrat mendekati peristiwa perjalanan Tuan Guru. Maka muncul tema-tema seperti cinta, keadilan sosial, dan memanusiakan manusia. Sajian dikemas seni pertunjukan, melibatkan musik dan gerak. Berupaya merepresentasi temuan artistik para peserta agar dapat berdialog dengan warga tempatan.
Selepas pertunjukan dilanjut dialog santai untuk sekadar menghimpun respon warga. Ada yang bertanya seputar proses kreatif. Mereka kebanyakan pengunjung museum. Oleh warga tempatan, sajian ini menjadi ajang refleksi untuk “menemui” kembali leluhur mereka yang diantar oleh harmoni melodi, dialek dan kata-kata, kostum, serta wewangi kemenyan. Secara bergantian mereka mengkonfirmasi asal usul mereka, ada yang dari Jawa, Lombok, Maluku, Makassar, dan lainnya. Seluruh aktivitas selama program residensi lebih terasa seperti perjamuan keluarga dibalut cerita, musik, dan makan.
Setiap perjumpaan, kerap disertai kejutan-kejutan perihal kisah tragis berujung manis bagi saudara sesama saudara Melayu di Cape Town. Ada rasa segan sekaligus amat lekat bercampur keharuan. Hubungan yang diawali dengan kekejaman dan penderitaan serta ketidakadilan. Dengan jalan memanusiakan manusia ala Tuan Guru, berhasil mewujudkan kebebasan, keterbukaan dan hasrat untuk menelusuri lebih jauh ikatan darah, pusaka, dan cerita. Entah zikir apa yang telah merebak menembus ruang dan waktu dari lafaz para Tuan Guru. Ini seperti mengikuti tapak waktu perjalanan para Tuan Guru tersebut sambul menulis kisah sejarah mereka sebagai sesama Melayu Nusantara yang dipisahkan oleh jarak sekian kilometer.
Warga Melayu keturunan Nusantara tersebut senang bertemu saudara sesuku dan sekampung dari tanah asalnya, meski mereka tak punya keinginan untuk kembali ke tanah leluluhurnya karena mereka sudah punya kehidupan sendiri di sana yang tak mungkin ditinggalkan. Sebagai diaspora, mereka sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi Afsel yang memiliki sejarah panjang kekerasan akibat perbedaan ras dan warna kulit. Dan, mereka bisa bertahan hingga kini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru