RESIDENSI SENI KONTELASI ARTISTIK DI AFRIKA SELATAN (1)

Merajut Tapak Melayu Nusantara di Cape Town

Seni Budaya | Minggu, 16 April 2023 - 15:38 WIB

Merajut Tapak Melayu Nusantara di Cape Town
Tim Residensi Tuan Guru foto bersama dengan masyarakat Bo-Kaap seusai pertunjukan presentasi dan dialog di Iziko Museum, Cape Town, Afrika Selatan, beberapa waktu lalu. (DOK KONSETELASI ARTISTIK INDONESIA)

Beberapa seniman Riau dan Indonesia berkesempatan melakukan residensi ke Afrika Selatan (Afsel), 9-22 Februari 2023 lalu. Di sana, ternyata ada komunitas Indonesia dan Melayu yang terbangun lewat Tuan Guru Syekh Yusuf Taj’l Khalwatiyah asal Makassar dan beberapa pemuka agama lain dari Indonesia yang dibuang ke Afsel oleh Belanda.

RIAUPOS.CO - SAYAP SA Airlink harus miring ke kanan hingga 45 derajat di punggung kiri Table Mountain dan sedikit mengitari pantai False Bay, tepi area Macasar menuju bandara Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Sesaat sebelum mendarat, dari pandangan udara terhampar komplek rumah berbentuk kotak dengan dinding dan atap terbuat dari seng, kardus serta papan bekas, nyaris tanpa jarak. Dari jarak dekat menimbulkan kesan keras, rawan, dan berbahaya. Area ini disebut Khayelitsa. Dihuni hingga 1,2 juta orang. Pada tahun 2020 menempati urutan kelima kawasan kumuh terbesar di dunia.


Menurut Aristofani Fahmi, pimpinan rombongan yang juga Sekjen Asosiasi Seniman Riau (Aseri), mulanya, Khayelitsa adalah kawasan kosong dan tandus dibuat oleh pemerintah Afsel untuk  pengasingan imigran kulit hitam yang mencari kerja di Cape Town pada masa apartheid di negara tersebut.  Berjarak 15 menit dari Khayelitsa, di dataran tinggi Macasar, tegak kubah hijau penanda komplek makam Tuan Guru Syekh Yusuf Taj’l Khalwatiyah, putra Makassar yang wafat pada di tahun 1699. Syekh Yusuf wafat di tahun kelima dalam masa pembuangan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (waktu itu masih bersanama VOC) dari Indonesia dan Srilanka karena dianggap sangat berbahaya.

Sistem apartheid yang memisahkan warga Afsel berdasarkan warna kulit dan ras berakhir pada tahun saat Nelson Mandela merebut kekuasaan dan menjadi presiden kulit hitam pertama di Afsel tahun 1994. Sistem pemerintahan yang mengunggulkan warga kulit putih atas warga kulit hitam dan kulit berwarna menjadi akar perlakuan tidak adil, diskriminasi, hingga penghapusan identitas yang dialami warga di Afsel, termasuk warga keturunan Indonesia.

Nelson Mandela mengaku terinspirasi oleh Syekh Yusuf Al Makassari dalam melawan dominasi kulit putih yang sesungguhnya sudah dimulai sejak masa penjajahan kolonial di abad ke-16. Mandela bahkan menganugerahi Syekh Yusuf sebagai Bapak Umat Islam, dan Pahlawan Nasional Afsel pada tahun 1999.

Tuan Guru

Tuan Guru adalah sosok yang tunak dalam pengetahuan dan pengalaman spiritual. Tuan Guru menjadi tempat bertanya sekaligus penunjuk jalan menuju kebenaran hakiki. Dalam tradisi intelektual dikenal dengan monastisisme. Peran Tuan Guru di Nusantara berkembang dan beragam seiring perubahan sosial dan kebudayaan. Tidak hanya sebagai pemuka agama, Tuan Guru di Lombok menjadi rujukan solutif persoalan sosial-politik masyarakat. Jo Guru di Ternate-Tidore dan Anrong Guru di Gowa-Makassar merupakan guru tasawuf.

“Spesifik di Gowa-Makassar, terdapat Anrong Guru dengan keahlian artistik untuk musik, tari, selain untuk silat, dan rias pengantin,” kata Aristofani Fahmi kepada Riau Pos, di Pekanbaru, Rabu (13/4/2023).

Menurut lelaki yang dipanggil Itok tersebut, “Seeking Tuan Guru” menjadi tajuk Residensi Seni ke Afsel ini yang disusun sebagai upaya eksploratif potensi artistik dari hubungan Indonesia dan Kota Cape Town di Afsel. Para peserta residensi adalah Maskur Daeng Ngesa dari Gowa (Sulawesi Selatan/Sulsel), Hasan Ali dari Ternate (Maluku Utara), Suhada-Lawe dari Bogor (Jawa Barat), dan Anggara Satria dari Pekanbaru adalah peserta komposer. Yang lainnya  ada Helza Amelia dari Pekanbaru dan Dicky Senda dari NTT menggelar residensi open kitchen, memasak bersama Ibu Cape Malay selama dua hari.

Kemudian ada juga videografer Agus Eko Triyono dari Solo (Jawa Tengah) serta Thania Peterson, seniman visual keturunan Cape Malay. Melalui arahan Itok  sebagai Direktur Konstelasi Artistik Indonesia, dengan dukungan Ford Foundation Indonesia, mereka melakukan residensi ke tempat-tempat yang dinilai memiliki jejak penting Tuan Guru di Cape Town.

Pusar Daya Tuan Guru

Menurut Itok, makam Syekh Yusuf oleh warga Afsel disakralkan kemudian dinamai Kramat, menjadi salah satu lokus program residensi. Dua lainnya adalah kampung Bo-Kaap di Barat Laut Cape Town, dan Cape of Good Hope atau Tanjung Harapan di bagian selatan Cape Town.

Di dataran tinggi Bo-Kaap, terdapat makam Tuan Guru Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam dari Tidore dengan sebutan Tana Baru. Berjarak sekitar 3 kilometer ke bawah terdapat Auwal Mosque, masjid pertama di Afsel yang dibangun oleh Syekh Imam Abdullah pada tahun 1794.

“Di tengahnya hidup warga muslim Afsel keturunan Indonesia yang telah bercampur dengan keturunan negara lainnya dengan sebutan Cape Malay yang saat ini berjumlah sekitar 500.000 orang,” jelas Itok.

Lokus berikutnya adalah Cape of Good Hope atau Tanjung Harapan. Kontras dengan namanya, Cape of Good Hope adalah tanjung dengan karakter berkabut, tidak tenang, dan cenderung berbahaya. Tanjung ini sebelumnya bernama Cape of Storms, diubah oleh pelaut Portugal Bartholomeus Diaz pada tahun 1488 dalam perjalanannya mencari negeri rempah, Nusantara. Perubahan Cape of Storms menjadi Cape of Good Hope sebab awak kapal Diaz menyerah dalam perjalanan dari Lisbon hingga terdampar dan selamat di cape atau tanjung yang berada di antara Samudera Hindia, Samudera Atlantis, dan Kutub Selatan ini.

Menurut kisah masyarakat setempat, kata Itok, kisah magis menyertai pendaratan Syekh Yusuf bersama 49 pengikutnya di Tanjung Harapan pada tanggal 2 April tahun 1694, pukul 15.00 waktu setempat. Peristiwa pendaratan itu menjadi cerita yang menghebohkan, sebab angin dan gelombang Tanjung Harapan justru tenang ketika kapal yang ditumpangi Tuan Guru Syekh Yusuf akan mendarat.

Kramat Syekh Yusuf, Kampung Cape Malay, dan Tanjung Harapan, disadari sebagai triangular energi yang memiliki daya untuk mendorong daya artistik peserta. Di lokus itu peserta berkesempatan untuk berinteraksi dengan benda, alam, dan masyarakat. Tanpa beban, mereka berefleksi, bersenyawa  di pusar energi jejak Tuan Guru di Cape Town sebagai bagian proses penciptaan karya sesuai bentuk seni masing-masing peserta.
Perjumpaan dan Refleksi

Cukup mudah merasakan kedekatan dengan warga Cape Town. Terutama di Bo-Kaap. Itu dirasakan Itok dan peserta residensi lainnya. Karakter wajah, warna kulit, postur tubuh hingga sapaan salam, dapat diidentifikasi sesaat berada di kampung yang populer dengan warna rumah warna-warni itu.

“Assalamualaikuum... Indonesia…?” teriak salah seorang warga Cape Malay menyapa rombongan residen ketika melintas di depan rumahnya.

Mereka mampir dan berbincang sejenak. Tiada lain, mereka mengkonfirmasi asal keturunan Indonesia. Seorang ibu Cape Malay dengan antusias menahan Helza Amelia untuk berbincang. Dengan antusias  ibu itu mengomentari kesamaan bentuk wajah Helza dengan anak-anaknya. “Kita diajak mampir ke rumahnya makan siang,” kata Helza seperti ditirukan Itok.

Pengalaman emosional dialami Hasan Ali ketika agenda ziarah ke makam Tuan Guru Syekh Imam Abdullah. Ziarah yang dipimpin Syekh Rakiep, keturunan kelima Syekh Imam Abdullah, bercerita tentang kisah pembuangan Tuan Guru dari Tidore dan perjuangannya membangun madrasah untuk warga di Cape Town yang penuh keterbatasan.

“Saya seperti pulang dan berkunjung ke sudara dekat,” kata Hasan Ali yang juga memiliki kaitan darah dengan Syekh Imam Abdullah.(Bersambung)


Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook