Wacana tentang keislaman dari waktu kewaktu memberikan khazanah baru sebagai upaya untuk mempertahankan nilai historisnya, sekaligus sebagai langkah meremajakan ajaran-ajaran otentik Islam di tengah gempuran budaya digital. Kisah tentang cerita Islam masa dahulu, mulai dari pertama kali Islam hadir di tanah Nusantara, hingga sampai saat ini ketika peradaban demikian berbeda dengan peradaban dimana Islam pertama kali hadir, upaya untuk mempertahankan keotentikan itu kini telah sampai pada gerbang yang demikian kompleks. Kompleksitas itu tidak lain adalah, pendekatan dan pembacaan terhadap Islam yang demikian heterogen.
Salah satu dari sekian banyak upaya pembacaan terhadap Islam demi menemukan dan mempertahankan otentisitas islam adalah, kajian-kajian Islam Nusantara yang banyak coba digali oleh beberapa oknum. Ketika konsepsi islam nusantara dihadapkan pada kita, pertama kali yang muncul di dalam benak kita adalah diskripsi budaya nusantra, kemudian islam yang hadir sebagai entitas lain yang memiliki dimensi religius dan lekat dengan sifat apokaliptiknya.
Dari dua kata dalam konsep ini “Islam” dan “nusantara”, menggambarkan kegerahan manusia-khususnya bangsa Indonesia-terhadap realitas budaya yang semakin hari didesak oleh budaya baru yang demikian memiliki potensi untuk menghilangkan kearifan lokal dan tradisi-tradisi keagamaan yang demikian kental dengan bangsa Indonesai, khususnya agama Islam. Wajar jika kemudian wacana tentang Islam nusantra sangat bersifat nativistik sama sekali.
Historisitas Islam di tanah nusantara menggambarkan jejak, bagaimana islam hadir pada wilayah tertentu bukan atas dasar ketidaksengajaan. Membaca sejarah tentang hadirnya islam di tanah nusantara tidak semata-mata perkara misi keagamaan, selebihnya orang-orang negeri seberang yang membawa ajara-ajara islam juga mengkaji integritas budaya nusantara pada waktu itu.