CATATAN AKHIR PEKAN

Manusia Kreatif

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 09:36 WIB

Manusia Kreatif
FEDLI AZIS

TAHUN 2015 segera berlalu. Tahun baru 2016 pun menjelang. Sepanjang tahun ini, terlalu minim upaya promosi budaya melalui bidang budaya, salah satunya seni. Baik yang dilakukan pemerintah daerah, apatah lagi pihak swasta. Riau menjadi hening akibat pertarungan politik yang cukup menyengsarakan, dalam hal ini, saya katakan seniman.

Jika pun ada agenda budaya dan seni yang digelar pemerintah daerah, masih bersifat seremonial belaka. Agenda tersebut hanya untuk pemuas nafsu-nafsi manusia-manusia yang bermental paduka. Mabuk puja-puji, lena dan hanyut bersama waktu yang terus bergulir menuju muara kemunafikan. Lantas, kepada siapa lagi para pelaku seni dan budaya mengadu? Jawabnya, masih mantap seperti lirik lagu Ebit G Ade, “Tanyakan pada rumput yang bergoyang”.

Baca Juga :Resah, Ternak Warga Kuansing Diserang Hewan Buas

Pertanyaannya, apakah kondisi yang kian pelik dan memprihatinkan itu merubuhkan spirit dan keinginan para pelaku seni budaya Melayu? Jawabnya singkat saja, “Tidak!” Kenapa? Karena ketiadaan perhatian, ketiadaan dana, dan ketiadaan segalanya, bukanlah halangan berarti bagi manusia-manusia kreatif. Dalam tulisan ini, saya hanya memokuskan pada geliat dan riak seniman untuk menghasilkan karya-karya yang berlatar budaya Melayu Riau.

Saya sendiri, termasuk satu dari secuil orang yang senantiasa mencatat agenda-agenda seni budaya yang didedah sepanjang 2015 ini. Kita bisa melihat dan mengamati langsung bahwa institusi penting dalam pengembangan kesenian dan kebudayaan, baik provinsi maupun kabupaten/kota ibarat ‘tidur suri’. Ada dan tiada. Institusi seperti Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Dewan Kesenian Riau (DKR), hampir di seluruh Riau yang semi ‘plat merah’ itu hanya ‘gigit jari’ atas perlakuan para paduka dan kroninya.  

Kedua institusi itu nyaris terseok-seok dalam menjalankan program kerja yang muaranya untuk memuliakan akhlak manusia di daerah ini. Begitu pula institusi lain yang berkaitkelindan dengan kedua institusi tersebut. Namun musti dicatat, bahwa institusi kecil seperti komunitas seni dan budaya, meski belum merata, tetap bergerak, menggeliat, dan melompat ke angkasa. Komunitas seperti sanggar-sanggar seni dari berbagai bidang, seperti sastra, tari, musik, film, teater, dan rupa, serta komunitas budaya lainnya nyaris tak pernah kehilangan cara untuk menghasilkan karya-karya mereka.

Mereka orang-orang kreatif yang tak pernah diam. Mereka seperti tak peduli pada pertarungan politik yang tak padam-padam. Mereka terus saja berbuat dan berkarya serta mengangkat khasanah budaya Melayu di depan cermin dunia. Orang kreatif inilah yang tersisih, meski sebenarnya merekalah adalah ujung tombak dari visi Riau 2020 yang tinggal empat tahun ke hadapan. Sebab ada tidaknya visi yang berbau politis itu, bagi mereka berkarya adalah harus dan wajib hukumnya.  

Maka sepanjang tahun 2015, tercatat secara baik, hanya orang-orang kreatif inilah yang memberikan sumbangsih pemikiran dan promosi budaya Melayu Riau menuju visi Riau 2020. Saat tumpangtindih kebijakan menjadi tema membosankan, saat model-model kuno yang dipraktikkan pemerintah di ‘ladang hati’ kebudayaan terasa hambar, orang-orang kreatif yang melompat dari segala kekurangan itu, justru memberi warna pelangi pada perjalanan budaya manusia di negeri ini.

Lantas, akankah 2016 kehadapan, koneksitas pemerintah dan orang-orang kreatif itu bisa terjalin? Apakah akan ada sinergi yang kuat antar mereka? Mari menikmatinya dalam keraguan yang tak terbatas dan tak terduga ini.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook