KOLOM ALINEA

Alienasi Mahasiswa terhadap Tradisi Literasi

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:12 WIB

Alienasi Mahasiswa terhadap Tradisi Literasi

Sementara dalam perbincangan lebih jauh, kita bisa sebut nama Soe Hok Gie yang sejarah hidupnya telah menjadi legenda tersendiri dalam dunia pergerakan mahasiswa Indonesia.

Apabila kita mempersoalkan minimnya minat diskursus di kalangan mahasiswa, hal itu tidak terlepas dari pengaruh (baca: keterlibatan) kampus. Idealnya, sebuah kampus merupakan instrumen utama dalam pembekalan ilmu pengetahuan (selain segudang wacana) yang kelak mereka miliki dan akhirnya diterapkan. Akan tetapi, dewasa ini kampus yang sejak lama dianggap sebagai rumah bagi segenap insan yang (dilatih) berpikir kritis itu, sepertinya telah kehilangan taji untuk melahirkan mahasiswa yang masih peduli pada sejumlah tradisi intelektual, di antaranya tradisi membaca dan menulis.

Baca Juga :Social Distancing

Kita tidak ingin modal yang dipertaruhkan mahasiswa dalam sebuah medan —dalam sebuah teori Bordieu— hanya bertumpu-pangku pada modal ekonomi semata. Kita juga tidak mau mahasiswa hanya memanfaatkan modal simbolik (nama besar), tetapi kehilangan modal budaya (pengetahuan bernilai) yang tiada lain berasal dari proses membaca dan menulis yang berdisiplin. Tentu, kita juga tidak ingin mereka hanya berharap pada —masih bertumpu pada teori Bordieu— modal sosial (jaringan) belaka, sedangkan pengetahuan yang bernilai tidak mereka memiliki.

Metode pembelajaran dan kerangka berpikir yang “sempit” memang hampir melenyapkan wacana kritis dalam teori dan praktiknya sehingga (jangan-jangan) mahasiswa memang sudah seperti apa yang digambarkan Baudrillad sebagai “hiperealitas”: ketika ia tidak bisa lagi membedakan asli dan palsu, fakta dan rekayasa, masa lalu dan masa kini, atau tanda dan realitas.

Apakah kampus sudah kehilangan jawaban atas pertanyaan mengapa tradisi membaca-menulis ini kemudian semakin teralienasi? Barangkali saja. Akan tetapi, kita masih berharap dengan (terus) membaca dan menulis, kita bisa mengasah kemampuan mahasiswa yang disebut  oleh Alvi Puspita “memiliki mata pena yang runcing”.

Mari membaca dan menulis karena kita tidak ingin masyarakat Indonesia dikenal sebagai orang yang “tuna baca dan pincang menulis”, seperti istilah yang disampaikan Taufik Ismail.***

Boy Riza Utama, Koordinator Gerakan Komunitas Sastra Riau (GKSR) dan bergiat di Komunitas Paragraf.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook