Ada cerita panjang di Kawasan Cipang Raya. Mulai dari Tibawan hingga Simpang di Hulu Mentawai. Keduanya, menyimpan peradaban besar di masanya.
(RIAUPOS.CO) - DESA Tibawan merupakan desa pecahan dari Desa Cipang Kanan yang dimekarkan tahun 2007. Orang-orang yang tinggal di Muara Tibawan awalnya adalah orang-orang yang tinggal di negeri Koto Rajo (dekat ibu Kecamatan Rao Mapat Tunggal sekarang). Suatu waktu terjadi perselisihan antara keluarga raja sehingga menimbulkan kelompok-kelompok. Di antara kelompok tersebut ada yang tidak betah tinggal lagi di Koto Rajo. Mereka bersepakat meninggalkan negerinya dan mencari tempat yang belum tahu di mana letaknya.
Kelompok ini, seperti yang diceritakan Datuk Hendrizal, memutuskan berjalan mengikuti Sungai Sumpu arah ke hilir. Mereka berjalan berhari-hari. Setelah melewati Kampung Silayang, sampailah ke sungai kecil yang bermuara ke Sungai Sumpu. Tempat ini diberi nama Muara Tibawan.
Sesampainya di sini, mereka bermufakat membuka perladangan. Pemimpin dari kelompok yang membuka ladang ini bernama Datuk Nan Setia dengan istrinya bernama Terung. Soal Datuk Nan Setia ini ada dua cerita. Pertama, Datuk Nan Setia disebut sebagai orang yang diutus raja Rokan untuk menyelidiki keberadaan pendatang ke Muara Tibawan dan pendapat kedua, yakni dari masyarakat Tibawan sendiri, bahwa ia memang merupakan orang asli dari kelompok yang datang ke muara Tibawan tersebut. Datuk Nan Setia diberi gelar Datuk Bendahara Muda oleh Raja Rokan dengan tanah ulayatnya mulai dari Batu Olang sampai Muara Sungai Pegadis.
Desa ini memiliki tiga dusun, yakni Dusun Sukadamai, Kampung Terendam dan Tunas Mekar dengan luas wilayah 7.429 hektare. Jumlah penduduknya mencapai 983 jiwa atau 281 Kepala Keluarga (KK). Hanya ada satu suku di desa ini yakni Suku Melayu dengan lima datuk, yakni, Datuk Bendahara (pucuk adat) bernama Zufrianto, Datuk Rang Kayo Bungsu bernama Firman Edy, Datuk Manuncang bernama Jeki Arisandi, Datuk Malenggang bernama Wamri dan Datuk Majolelo bernama Asparizal. Sedangkan ninik mamaknya ada 10 orang.
Sekitar 65 persen masyarakat Desa Tibawan tamat Sekolah Dasar (SD). Mereka memiliki penghasilan dari kebun karet sekitar 70 persen. 10 persen pula dari kebun sawit dan 20 persen campuran seperti kopi, pinang, kelapa, pedagang, pegawai dan lainnya. Sebagian warga menjual hasil perkebunan ke Kecamatan Rao melalui Desa Cipang Kanan, sebagian pula ke Ujung Batu, Rohul. Lebih dekat jaraknya ke Rao dibandingkan ke Ujung Batu, sekitar 7 km saja. Hanya saja, jalannya masih tanah dan sangat sulit dilewati saat musim penghujan.
Panjang jalan di desa Tibawan mencapai 9,5 kilometer pada Desember 2017 dan terus mengalami peningkatan khususnya jalan desa sehingga sudah mencapai 12,5 kilometer pada Mei 2018 dengan 3,5 kilometer di antaranya sudah aspal. Desa ini juga dibelah banyak sungai. Selain Sungai Rokan Kiri, juga ada Sungai Tibawan, anak sungai Sungai Bondar, Sungai Marapo, Sungai Pegadis, Batu Ampar, Obom, Marindam dan Sungai Kapeh. Sedangkan untuk pendidikan, di desa ini ada 1 Taman Kanak-kanak (TK), 1 Sekolah Dasar (SD), dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan SMA dan pustaka belum ada. Tamat SMP, mau tidak mau anak-anak harus melanjutkan SMA ke kota lain karena di tiga desa lainnya juga tidak ada SMA.Desa Tibawan dilewati Sungai Rokan Kiri. Bahkan jembatan panjang dan besar melintas di atasnya. Tibawan merupakan kampung lama.
Simpang, Pusat Kerajaan Mentawai di Cipang Kiri Hilir
Lain lagi Cipang. Kini namanya Simpang, tepatnya Dusun Simpang, Desa Cipang Kiri Hilir. Dusun ini merupakan pusat Kerajaan Mentawai zaman dulunya atau kampung pertama ketika Cipang hanya terbagi dua, yakni Cipang Kanan dan Cipang Kiri. Kampung Simpang ini sudah pindah tiga kali. Pertama Kuburan Tinggi, Kampung Bukit dan Simpang. Seperti yang diceritakan Datuk Bosa, Datuk Pucuk M Yusuf, Kerajaan Mentawai ada sejak abad XIII. Ini dibuktikan denngan adanya kompleks pemakaman para raja yang dikenal dengan Kuburan Tinggi.
Kerajaan Mentawai dipercayai berasal dari Kerajaan Pagaruyung, pindah ke Bukittinggi. Dulu ada datuknya, bernama Datuk Jombang Bendaharo di Kampung Tinggi itu dan sekarang pindah ke Simpang dengan nama datuknya Datuk Rum. Datuk Rum merupakan keturunan Raja Mentawai. Ia juga merupakan wali negeri pertama tahun 1960. M Yusuf juga meyakini, Kuburan Tinggi mungkin dulunya ada nama lain, tapi yang jelas sekarang dikenal dengan nama Kuburan Tinggi.
Disebut Datuk Yusuf, Raja Mentawai bernama Somet. Sitawai adalah mamaknya Somet. Sitawai ini yang dapat luhak pertama di Cipang Kiri. Sedangkan nama sungai di desa tersebut yakni Sungai Mentawai, diambil dari nama Sitawai sebagai penemu luhak. Raja Mentawai juga diyakini lebih tua dari Raja Rokan. Tapi karena terlambat membuka kerajaan, maka Raja Mentawai berdulat kepada Raja Rokan. Makanya Raja Mentawai bergelar datuk, yakni Datuk Rum. Raja yang menjadi Datuk.
Cipang Kiri pangkalnya berada di Tangkolio, sedangkan ujungnya di Lubuk Ulek. Ada tiga datuk yang ditanam atau dilantik oleh Raja Rokan, kata Datuk Yusuf, yakni Datuk Rum (Simpang), Datuk Rajo Gagah (Tangkolio) dan Datuk Menaro Kuning (Lubuk Ulek). Datuk Menaro Kuning tidak punya ulayat karena seluruh luhak sudah diserahkan kepada Datuk Rum. Maka ia meminta ulayat kepada Datuk Rum, lalu diberi paling ujung yakni di Lubuk Ulek.
Ada dua datuk lagi yang dilantik Raja Rokan atas persetujuan Datuk Rum yakni Datuk Gunung dan Datuk Sutan Gumalo. Keduanya punya ulayat karena Datuk Rum yang menyuruh. Ulayatnya dari Bukit Lumut sampai lewat Sungai Talas. Marwan Machmud, tokoh masyarakat Cipang Kiri Hilir, juga menjelaskan, karena Kerajaan Mentawai dari Pagaruyung, maka sistem yang masih terjaga sampai sekarang berupa materinial, yakni keturunan dari ibu. Peninggalan sejarah atau sisa-sisa dari Kerajaan Mentawai bukan hanya bisa dilihat dari makam para raja di kawasan Kuburan Tinggi, tapi juga rumah godang, lelo (meriam) yang sudah tidak aktif dan didapat di dekat makam Raja Mentawai oleh keturunan Sitawai atau Datuk Rum.
Dari waktu ke waktu, Dusun Simpang dan Cipang Kiri terus berkembang. Desa Cipang Kiri Hilir terdiri dari tujuh dusun, yakni Dusun Lubuk Inguh, Tangkolio, Banjar Datar, Tandikat, Simpang, Kandis dan Kubudienau. Banyak sungai yang membelah desa ini, antara lain Sungai Mentawai, Sungai Kandis, Sungai Tangkolio Kuning, Sungai Parais, Sungai Simau, Sungai Tandikat, Sungai Pauh, Sungai Landur, Sungai Keruh dan Sungai Batang Talau. Di sungai ini pula masih terpelihara tradisi Lubuk Larangan. Setiap kampung ada Lubuk Larangan, bahkan ada yang dua yakni Lubuk Ingu, Tandikat dan Simpang.
Jumlah penduduk di Cipang Kiri Hilir sekitar 1.888 jiwa atau 487 Kepala Keluarga (KK) pada Juni 2015. Pada Mei 2018, jumlah penduduk semakin bertambah. Diperkirakan sekitar 2.000 jiwa dengan penghasilan perekonomian yang beragam. Ada karet sekitar 75 persen, sawit sekitar 20 persen, dan lain-lain sekitar 5 persen.
Fasilitas umum juga mulai banyak. Setiap tahun terus bertambah. Pelayanan kepada masyarakat semakin baik. Sudah banyak fasilitas yang sebelumnya dirasakan masih kurang, tapi di tahun 2018 sudah mulai mencukupi. Masing-masing kampung sudah ada SD. Sedangkan SMP hanya ada 1 yakni di Dusun Banjar Datar. Puskesmas 1 unit, pustu 1 unit dan pasar desa per 2018 sudah ada 4 yakni di Dusun Tangkolio, Lubuk Ingu, Tandikat dan Simpang. Sementara pada 2015, belum ada pasar. Suku di desa ini juga tidak banyak. Dasarnya hanya ada satu suku, yakni Suku Melayu, tapi pecahannya banyak dengan 14 datuk.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul