Makam leluhur memang tertinggal di kedalaman danau PLTA, tapi peradaban tetap ikut dibawa serta; selamatkan apa yang bisa.
(RIAUPOS.CO) - ENTAH berapa nisan yang masih tertancap, entah berapa tempat bersejarah atau tapak-tapak bangunan tua tertinggal di bawah Danau PLTA, yang jelas, para tetua tak pernah menginginkannya. Maka, banyak hal yang dilakukan untuk merawat kenangan dan warisan. Di antaranya dengan tetap mengagungkannya.
Datuk Syawir bergelar Datuk Tandiko atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datuk Pucuk Adat Kenegerian Pulau Gadang, adalah pelaku sejarah atas ditenggelemkannya kampung Pulau Gadang, tanah kelahirannya di bawah danau tersebut. Waktu itu ia masih kecil. Ia menyaksikan bagaimana proses warga berpindah dari desa lama ke desa baru.
''Saya ikut merasakan sendiri bagaimana kami harus pindah dari kampung tempat lahir kami ke tempat baru. Kalau soal penolakan untuk pindah, pasti ada. Gantirugi juga ada. Tapi kami sempat ketakutan apakah kami bisa tinggal di tempat baru itu,'' kata Datuk Syawir mengawali cerita.
Saat itu tahun 1992. Tepatnya Bulan Agustus. Syawir dan keluarga; ayah ibunya, serta seluruh masyarakat kampung harus pindah. Sekitar seminggu truk mengangkut barang, keluar masuk kampung. Satu keluarga, satu truk. Apa yang bisa diangkut, dinaikkan dalam truk. Atap rumah, kayu-kayu rumah lama dan semua yang bisa dibawa.
Bahkan keluarga Datuk Syawir harus membongkar makam datuk mereka, ayah dan makam cucu. Makam itu dibawa serta pindah ke kampung baru atau Desa Pulau Gadang yang sekarang. Tapi makam leluhur lain, semua masih tertinggal di bawah danau itu sampai sekarang.
''Sedih, waktu itu memang sedih. Meski rumah disiapkan, fasilitas disiapkan, kami dapat gantirugi, diberi jatah hidup, tapi ada yang hilang. Kami orang sungai, di tempat baru tak ada sungai. Benar jika adat tradisi sungai tidak bisa kami bawa, tidak bisa kami laksanakan lagi. Tapi apa yang bisa dipertahankan, kami pertahankan. Ini janji kami,'' sambung Datuk Syawir.
Berpindah ke tempat baru memang dengan kesepakatan waktu itu, yaitu membawa seluruh adat dan tradisi kampung lama. Kecuali yang memang tidak bisa dibawa lagi.
Kenegerian Pulau Gadang kini terbagi menjadi dua desa, yaitu Desa Pulau Gadang dan Desa Koto Mesjid. Sebagai salah satu kenegerian yang berada di Kecamatan XIII Koto Kampar, maka di Kenegerian Pulau Gadang juga ada Datuk Pucuk Adat dan datuk-datuk lainnya.
Nama XIII Koto Kampar, kata Datuk Syawir, menunjukkan ada 13 kenegerian dengan 13 datuk besar di kecamatan ini. Maka, seluruh kenegerian itu pun menunjukkan masyarakat yang ada di dalamnya adalah masyarakat adat, hidup dengan adat.
Datuk Syawir sendiri lahir di Desa Pulau Gadang. Rumahnya terletak sekitar 2 kilometer dari Bukit Oghou (Arau) yang saat ini sudah berada di bawah danau. Pada tahun 1984, ia sudah mulai mendengar tentang rencana pembangunan bendungan PLTA.
Tahun 1987 hingga 1990, pemerintah menyosialisasikan rencana pembangunan bendungan tersebut. Diakui Datuk Syawir, proses sosialisasi memang lama. Warga banyak yang menolak dan ketakutan. Tapi sosialisasi terus dilakukan, berulang-ulang.
“Saat sosialisasi waktu itu, masyarakat sulit menerima. Namanya masyarakat sungai, semua bergantung di sungai. Kalau pindah di tempat baru tak ada sungai. Warga takut bagaimana mencari ikan, mencari makan dan lain-lain,'' kata Datuk Syawir lagi.
Proses penolakan itu bertahun-tahun lamanya. Tapi kemudian datuk dan ninik mamak dibawa pemerintah untuk melihat Bendungan Jatiluhur di Pulau Jawa. Pemerintah ingin memperlihatkan contoh bendungan dan kondisi kehidupan masyarakatnya yang sudah pindah ke tempat baru.
Di antara desa yang dipindahkan selain Desa Pulau Gadang adalah, Desa Tanjung Alai, Batu Besurat, Muara Mahat, Pongkai, Muara Takus, Koto Tuo, dan dua desa di Provinsi Sumatera Barat, yakni Deaa Tanjung Pauh dan Desa Tanjung Belit.
''Begitu sampai di atas atau di tempat baru, saya menangis. Saya masih kecil saja menangis, apalagi orangtua saya yang sudah puluhan tahun di sana. Jarak rumah baru, jauh-jauh. Listrik tak ada. Semak. Mak saya pun dibawa ke Bangkinang,'' kenang Datuk Syawir.
Warga Kenegerian Pulau Gadang dan warga desa-desa lainnya sudah 29 tahun tinggal di tempat baru. Setelah sekian lama, barulah masyarakat merasakan nikmatnya tinggal di sana.
Pengorbanan, merelakan kampung tenggelam untuk masyarakat Riau agar bisa menikmati fasilitas listrik, tidak sia-sia. Waktu itu memang sangat sedih. Tapi lama-lama kemudian, bahkan sudah 29 tahun saat ini, masyarakat hidup sejahtera.
Dulu di kampung bawah, kata Datuk Syawir, jangankan mobil, motor saja tak ada. Hanya sepeda. Sekarang hampir semua rumah sudah punya mobil.
''Meski kami akui, ada peradaban yang hilang dan tak bisa kami pertahankan,'' sambung Datuk.
Saat ini, Danau PLTA telah mengalirkan listrik dengan kapasitas 114 MW. Tidak hanya masyarakat Riau yang menikmati, tapi juga masyarakat provinsi lain tentu dengan sistem interkoneksi yang sudah dijalankan PT. PLN selama ini. Semua itu berkat pengorbanan masyarakat desa yang ada di bawahnya.
Agar apa yang dikenang tidak hilang dari ingatan, Datuk Syawir dan keluarga membangun sebuah pulau yang dijadikan tempat wisata dengan nama Talau Pusako. Dua kata ini merupakan bahasa daerah XIII Koto Kampar.
Talau bukan sembarang kata. Tapi salah satu lokasi di dekat Desa Pulau Gadang yang sekarang sudah tenggelam. Tempat ini merupakan tempat pelarian warga yang dikejar-kejar Belanda sebelum Indonesia merdeka. Dan, di tempat tersebut ada sebuah pohon Talau.
Cerita itu sendiri didapat Syawir dari orangtuanya. Dia sendiri belum lahir ketika peristiwa itu terjadi. Sedangkan pusako memiliki arti pusaka.
"Kami kembangkan ini menjadi tempat wisata dengan nilai-nilai sejarahnya yang mesti dirawat dan disampaikan kepada generasi berikutnya, agar tidak sia-sia dan hilang begitu saja," ungkap Datuk Aswir lagi.*
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar