Maka,
hidup kita seperti mesin. Robot-robot yang berjalan, dan hiruk. Kita
sudah terlanjur percaya, bahwa yang berhak memiliki “ilmu batin” itu
hanya dukun. Padahal, tiap manusia punya batin. Ilmu batin, sebagaimana
orang Sakai, sesungguhnya adalah pengetahuan yang ampuh yang berasal
dari “subjektif-dalam” dan kemudian mempengaruhi alamat semanget, yang tak kasat mata itu.
Dengan begitu, setiap orang bisa memiliki “ilmu batin.” Sebab, bagian dalam dari sisi kemanusiaan yang purbawi itu, memang ada dalam tubuh fisik kita. Benar, dalam kosepsi Islam misalnya, kata “batin” selalu beroposisi dengan “lahir.” Dan, kerap pula apa yang tampak di luar, adalah cerminan yang di dalam. Padahal, betullah pula ini kosep Sakai, antara yang batin dan yang lahir, tak selamanya sejalan.
Bukankah, hari ini, kita menemukan itu di mana-mana? Menemukan banyak orang yang “bermuka dua” misalnya. Atau, lisannya berkata lain, dan hatinya lain pula. Dan orang Sakai, selalu memandang diri tradisional mereka, tindak laku mereka, berdasarkan suara batin. Artinya, mereka diarahkan oleh hati mereka, oleh perasaan mereka, dibanding oleh kekuatan yang berada di luar diri mereka, bahkan oleh “akal” mereka sendiri.
Meskipun, satu konsep lain menjelaskan, “mengucapkan mantra tanpa ilmu, tak akan ada pengaruh.” Maka kata “ilmu” di situ adalah satu “kekuatan” yang tidak hanya bisa dihafal atau diingat dalam kepala, tapi digerakkan oleh batin. Batin butuh ilmu untuk dapat memiliki kekuatan itu. Dan anehnya, tidak pula semua orang (terpilih) yang bisa “memperlajari” ilmu itu.
Lalu, apakah para penyair kita memiliki “ilmu batin”? Apakah seorang penyair ketika menulis puisi diarahkan oleh hati dan perasaannya, atau oleh akalnya? Menulis puisi itu pekerjaan akal, atau pekerjaan batin? Apakah puisi-puisi kita hari ini bagai mantra yang hanya tertulis di atas kertas, dan tak memiliki kekuatan?***