Lisensia puitika menghamparkan “kebebasan” bagi penyair untuk menggunakan bahasa. Konvensi yang telah pakem, suatu ketika bisa dibelokkan demi menemukan ungkpan estetik yang berbeda dari kejamakan. Afrizal Malna memilih menyisiri jalan berbeda dari kejamakan, bukan saja menghancurkan konvensi, melainkan mempertanyakan lebih dalam apa yang disebut estetis dan mengobrak-abrik stuktur.
Puisi-puisi Afrizal seperti hendak menghampaskan tatanan baku yang selama ini menjadi “polisi moral” bagi puisi. Justru karena kondisi seperti itulah puisi berada dalam tegangan: mana yang baik dan mana yang buruk. Padahal, jika merujuk lebih jauh lisensia puitika, puisi lahir dari imajinasi dan kreasi subjektif. Dan kreatifitas sendiri tidak bisa dibatasi oleh logika formal karena hanya akan mempersempit ruang geraknya. Apa yang dipilih Afrizal bukanlah mendekonstruksi demi mendapat konstruksi yang lebih bagus, tetapi membiarkan dalam kehancurannya, dalam ketercerai-beraiannya.
Bahkan, lebih jauh, Afrizal menihilkan koherensi dan membuat larik-larik puisinya berdiri sebagai entitas yang otonom. Dan karena itulah tertuang asumsi-asumsi subjektif yang menjatuhkan puisi Afrizal dalam genre puisi gelap. Yang manjadi menarik ialah menyingkap kegelapan puisi Afrizal demi menemukan secercah cahaya di dalamnya. Tafsir kita juga harus liar agar tidak terperangkap dalam jebakan-jebakan metaforis Afrizal, yang sulit diterka dengan nalar awam.
Jika mayoritas penyair berdiam dalam ruang soliter dan kesunyian yang purba dengan meneriakkan kegelisahan eksistensial dirinya, puisi-puisi Afrizal adalah orkestrasi kolosal semua benda, yang dalam tilikan Ahmad Gaus, berhak untuk mengada dan menegakkan eksistensinya. Dalam kondisi inilah, yang didengungkan Afrizal bukanlah aku-lirik melainkan aku-publik.
Namun, meski demikian, subjektivitas tidak serta-merta rontok total dan gugur seketika. Karena, semilitan-militannya Afrizal dalam menegakkan daulat eksistensial semua benda, hal tersebut tetap lahir dari pembacaan subjektifnya terhadap realitas. Mungkin kadarnya saja yang berhasil diminimalkan. Atau dia sendiri yang bisa lebur dan jadi bagian dari benda-benda.
Semua itu terjadi, ketika modernitas mengepung diri Afrizal. Sehingga diri ini dihisap oleh benda-benda di sekeliling kita. Karena modernitas memaksa kita menjadi diri yang fetish, diri yang terperangkap ilusi materi. Hingga materi menjadi objek dari keangkuhan kita, dan kita tidak bisa menggunakannya secara arif. Meminjam bahasa Fayyadl, benda dan meteri itu mensubversi egosentrisme manusia yang memperalatnya dengan sekehendak nafsunya.
Bicara lagi kambingku, pisauku
Ladangku, komporku, rumahku,
Payungku, gergajiku, empang ikanku,
Genting kacaku, emberku, geretan
Gasku. Bicara lagi cerminku
(Warisan Kita)
Secara sadar atau tidak, modernitas telah mengepung, melukai dan mendehumanisasi manusia. Anthoni Giddens, sosiolog kelahiran Inggris, menjelaskan lebih jauh tetek bengek konsekuensi-konsekuensi modernitas yang salah satunya ialah terciptanya “ketidakamanan ontologis”. Sebab, kondisi transisional masyarakat agraris menuju masyarakat industri modern selalu ditandai dengan gejala anomalik yang penuh dengan mara.
Di atas panggung peradaban modern, terjadi perhelatan akbar yang menggoyahkan humanisme. Perang, ledakan nuklir dan keangkuhan teknologi-industri menjadi sederet problem yang menggiring dimensi kemanusiaan ke tepi kehancuran. Bencana krisis kemanusiaan di dalam masyarakat modern terjadi bila ikatan sosial dalam wujud kasih sayang, cinta, dan saling pengertian hancur. Sikap egositik mengalahkan sikap altruistik, hidup kemudian menjadi medan, di mana manusia begituh gigih memperjuangkan individualismenya tanpa ada usaha mengasah kepekaan sosialnya.
Modernitas menurut hemat penulis telah melucuti ikatan-ikatan tersebut, meski tidak secara menyeluruh. Secara psikologis, apabila problem itu terus berulang-ulang, terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan rasa traumatik dan kecemasan yang mencekam dalam diri manusia. Inilah kegelisahan yang merundung Afrizal dalam sajak “Mitos-Mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan/ Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami/ yang akan kembali membuat cerita/ saat- saat kami kesepian.
Sejauh ini, modernitas yang diasumsikan sebagai puncak tertinggi pencapaian umat manusia dalam tahapan masyarakat positivistiknya Comte, justru menimbulkan kondisi yang paradoksal. Kemajuan ilmu pengetahuan, jika tidak diiringi ketajaman akal budi, hanya akan berkonsekuensi destruktif. Afrizal gelisah; Kami telah belajar membaca dan menulis di situ/ Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Ilmu pengetahuan, justru tidak bisa diduduk sandingkan dengan semangat awal abad modern, yakni renaissance yang diasumsi dapat memendarkan cahaya peradaban hingga mampu mencerahkan serajah umat manusia yang kadung diselimuti kegelapan.
Dampak modernitas begitu terasa di negara berkembang, seperti Indonesia. Pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pusat-pusat perbelanjaan menjadi tolok ukur modernitas. “Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu/ mengucap diri dengan bahasa asing.” Masyarakat yang kian terkepung oleh bujuk rayu modernitas, akan selalu gelisah dan merasa sesuatu yang tradisional layak untuk dibenamkan. Dan pembangunan itupun diharap-harapkan oleh mereka yang telah terhipnotis modernitas. “O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal”.
Padahal, di balik kuasa modernitas ada tangan-tangan terselubung (invisible hand) yang siap mengeksplotasi kehidupan manusia. Maka Afrizal bertanya “Siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini/ Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin.” Idiom “bensin”, dalam puisi tersebut adalah energi atau kekuatan. Anak-anak menjadi pemompa energi kapitalisme, karena mereka terhipnotis dan lebur di dalamnya. Jika kesadaran kritis mereka rekah, yang terjadi ialah adanya jarak (distance), dan tidak akan menjadi energi yang memompa kapitalisme.***
Penulis adalah pengelola Komunitas Balai Sastra, Sumenep