Kumpulan puisi Anak Luka Susu karya Muhammad Asqalani Eneste memiliki corak yang khas dari penyairnya. Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dicatat dari puisi-puisi yang ada di dalamnya. Pertama, Asqalani mengambil bermacam tema dan lihai mengemasnya dengan kata-kata apik nan memikat. Kedua, ada ungkapan-ungkapan asing (bukan berarti bahasa asing) yang diciptakannya sendiri -setidaknya- untuk memberi efek dari daya ucap sajaknya. Ketiga, Asqalani merupakan seorang penyair yang seolah lepas dari dunia Melayu; tidak seperti sebagian penyair Riau yang tunak bertukus-lumus dengan roh Melayu. Asqalani seolah melenggang sendiri ke dalam dunianya.
Di dalam kumpulan puisi ini tampak usaha Asqalani yang tidak putus-putusnya untuk terus mencari jalannya menuju jati diri sebagai penyair garda depan. Di dalam sajak “Korkhena” terlihat bentuk yang kokoh dalam segi diksi, rima, pencitraan, frasa, alunan kisah, dan juga tema yang diusung. Ada keunikan yang ditampilkan karena tafsiran antara ayat-ayat suci Al-Quran dan Injil. “ular! Seru seorang yang sedang menyembah istri/ istrinya hitam beku, secantik patung hyena// … korkhena memisah-misah misa doa, menjemurnya satu-satu di tiang merah/ tuhan hijau dalam segala anggapan, telapak tangan telah lama lumut.”//
Di dalam puisi “Puan Momiji” dengan satu paragraf penuh dan utuh, berkisah suatu sosok manusia yang menjadi dambaan aku lirik. Asqalani cukup cermat dalam merangkai kata, memilih ketepatan diksi dan rima bunyi yang sangat berpengaruh pada lantunannya ketika dibaca. Sajak ini utuh dengan deskripsi yang kuat sekaligus tampak berusaha membawa emosi pembaca. “Jika kau pulang sayang/ kau akan seabsolut gamang, matamu kian mengambang/ merasa kaki salah tujuan// kau pilih pergi? Telah kusuluh sunyi dengan dalih seribu sendiri/ bahkan telah kupadamkan seluruh nyala mimpi/ duduklah, jika kau masih anggap ini rumah sendiri.”//
Sajak “Mendengar Lonceng” tampak mengarah ke religiusitas yang berbeda dengan latar belakang agama penyair sendri sebagai seorang muslim. Puisi yang agak “membelok” ke arah aura Nasrani ini, memiliki daya pikat dengan kekuatan jalan ceritanya. Juga memberi penafsiran bahwa lonceng yang didengar adalah kekuatan lain pada diri seorang pemeluk Nasrani. “sering kami dengar lonceng berdenting dikejauhan, kata ibu//… ia akan masuk ke dalam tidurmu sebelum kau ingat cara menghindar dengan doa dan telapak tangan yang ingin menggenggam matahari siang.”//
Ketiga sajak tersebut, memiliki karakter kuat, tetapi juga—menurut hemat saya—memiliki kelemahan apabila penyair kurang awas (baca: hati-hati) pada diksi-diksi yang membentuk kalimat yang dapat mengarah pada kerancuan dan ambigu. Pada judul “Korkhena” diawali dengan kalimat: “korkhena berjalan mati suri/ jejaknya keajaiban alibi/ rambutnya rambut andini.”// Namun penamaan Andini dan Korkhena sendiri serasa kurang nyambung pada kelangsungan tafsiran keseluruhan puisi. Puisi ini bertema besar (baca: mengarah) tentang kisah Adam dan Hawa yang terlempar dari surga karena telah memakan buah larangan. Juga diksi “ular” memiliki posisi tafsir sang iblis yang menggoda kedua obyek manusia itu. Namun penyair membuat perumpamaan yang kurang cermat sebab mengapa Korkhena harus “mati suri” dan mengapa pula “rambutnya rambut Andini?” Hal tersebut membuat kaitannya dengan kisah Adam Hawa menjadi kurang fokus.