Dalam sajak “Puan Momiji”, terlepas apakah Momiji sebagai sosok perempuan atau laki-laki (objek) atau khayalan/fiktif penyair (subjek), pada judul, penyair memberi kata “Puan” yang berarti (kita anggap) obyek perempuan, yaitu sosok Momiji, tetapi dalam isi penyair melukiskan, “… membayangkan wajahmu serimbun momiji”. Seharusnya, kata itu mengarah kepada subyek benda karena bukan lagi sosok manusia tetapi sosok lain yang penyair anggap indah selaras atau sama seperti manusia.
Sajak “Mendengar Lonceng” memiliki tafsiran kuat dalam hubung-kait diksi “lonceng” sebagai bentuk upaya “jalan” menuju Tuhan (bagi umat Nasrani). Akan tetapi, penyair sedikit mengalihkan peluang tafsiran itu kepada kalimat yang entah sengaja atau tidak dengan mengatakan “lonceng yang berdenting di kejauhan itu, kata ibu/ serupa kambing hitam yang dikendarai setan” (?). Seorang pembaca mungkin akan menarik benang merah untuk menangkap tafsir bahwa frasa “Mendengar Lonceng” suatu harapan pertolongan dari keteguhan kaum Nasrani juga ketenangan batin bagi mereka ketika menjalankan ritual ibadah; ibarat “beduk” dalam simbol-simbol kaum muslimin yang berarti juga memiliki makna keteguhan karena segera akan menjalankan peribadatan. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan penyair?
Asqalani merupakan salah seorang penyair muda yang memiliki geliat produktif yang tinggi di Riau. Selain ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi, juga telah banyak memenangkan lomba deklamasi dan kepenulisan, ditambah turut aktif menggerakkan komunitas sastra Community Pena Terbang-nya, juga puisi-puisinya bertebaran di berbagai media massa lokal dan nasional sekaligus turut meraih penghargaan.
Asqalani masih memiliki jalan lapang dan panjang. Kegigihannya (totalitas) tampak pada keseriusan dalam menggarap puisi tanpa kenal lelah. Anak Luka Susu merupakan capaian yang berbeda dari buku-buku puisinya yang lalu. Terlepas dari apakah ia terinspirasi dari Bulu Mata Susu karya Ramon Damora itu (mengingat judul buku puisi dalam ulasan ini hampir mirip), Asqalani tetaplah sosok berbeda yang juga “membuka peluang” tafsir dari puisi-puisi. Terakhir, saya ingin mengutip kalimat yang senantiasa menjadi ciri khasnya, “terima kasih ya peMirza…” ***
Riki Utomi adalah guru SMA 3 Tebingtinggi, Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti.