BAGI orang Sakai, ilmu itu ada di dalam batin, bukan di dalam buku, bukan pula di kepala. Salah satu bentuk ilmu itu, adalah mantra (monto). Tidak semua orang, yang bisa menghafal mantra, serta merta ia bisa menjadi dukun. Kata-kata yang dihafal itu, bisa jadi tak memiliki “kekuatan” apapun, ketika kata-kata mantra itu tak masuk dalam batin.
Tapi, di manakah tempat batin itu? Menurut Nathan Porath, yang meneliti tentang pengobatan tradisional di kalangan orang Suku Sakai di Riau, orang selalu menunjuk ke arah dada (abdominal). Artinya, di dada itu, ada hati (‘ati). Hati adalah rumahnya segala bentuk emosi. Tapi, batin dan hati itu tidak sama. Sebab, batin—dalam bahasanya Porath —adalah subjektivitas-dalam. Dan di sana, pengetahuan shamanis dan magis bermukim.
Lalu, biasanya, begitu orang menyebut frasa “ilmu batin,” pikiran kita akan serta merta merujuk kepada dukun alias bomo. Dan itu, selalu negatif. Pandangan sebagian kita terhadap orang yang memiliki “ilmu batin” itu, kerap memosisikan orang tersebut, sebagai orang kolot. Tidak modern, primitif, dan sejenisnya.
Meskipun, kita pun tahu, perkembangan berikutnya, begitu modernisme seolah kehabisan nafas, justru berbondong-bondong orang kembali mencari orang yang dianggap primitif ini. Dari sana, kemudian kita pun tahu, bahwa sebetulnya kita (orang Indonesia) tak sepenuhnya mampu untuk hidup tanpa mitos, tanpa magis. Cara berpakaian kita boleh ala modern, tapi cara berpikir kita (selalu) tradisional.
Namun, persoalannya kemudian, motivasi dan tujuan hidup kita masih pragmatis. Orang ke dukun, lebih untuk tujuan pragmatis. Tradisionalisme dipakai, saat-saat dibutuhkan untuk jalan pintas. Bukan untuk kembali meyakini bahwa, kita memiliki kearifan-kearifan lokal yang ampuh. Dan inilah sebabnya, yang membuat kita mengejar “ilmu lahir” dibanding mengejar “ilmu batin.”