SENGGANG MARHALIM ZAINI

Anak-anak Ajaib

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 14:41 WIB


“Aku membeli sepatu yang berwarna biru,
ia mengkilat seperti matahari yang memantul ke jendela.
Lalu sepatu itu seperti mobil, membawaku ke mana saja...”

CUPLIKAN puisi di atas berjudul “Sepatu.” Ditulis oleh seorang anak berumur enam tahun. Abinaya Ghina Jamela, namanya. Puisi itu, adalah satu dari 50 judul puisi yang sudah ia tulis, dalam setahun terakhir. Saya, terkesan sejak awal, sejak ibunya (Yona Primadesi, dosen dan penyair) rajin meng-apload puisi-puisi Naya (demikian ia dipanggil) di akun Facebook, selain di blog duniakecilnaya.com.  

Melihat anak-anak yang pandai menulis puisi, saya seolah melihat keajaiban; keajaiban yang ada pada anak-anak itu, pun keajaiban pada puisi. Sebuah keajaiban, selalu muncul dari dunia yang “misterius”. Bukankah dunia anak, pun dunia puisi, adalah misterius, penuh dengan ketakterdugaan?  Dunia, yang kerap tak dapat kita “pahami” kehendak dan prilakunya, tapi selalu dapat kita “nikmati” sebagai sesuatu yang “menyenangkan,” sesuatu yang “mencerahkan,” yang “menggerakkan.”     


Saya lalu teringat seorang bocah lain bernama Sutan Tsabit Kalam Banua, anak sahabat saya, penyair Raudal Tanjung Banua. Sejak masih kecil, bahkan sejak ia belum pandai menulis, ia sudah “mencipta” puisi. Saya tahu persis, bagaimana puisi-puisi yang dilisankannya kemudian ditulis oleh ibunya. Puisi-puisi dengan diksi yang sangat kuat. Bahkan impresif. Imajinasi dan metaforanya, selalu tak terduga, dengan diksi-diksi cerdas dan genuine.

Coba kita simak cuplikan puisi Tsabit berjudul “Bumi Semakin Mendekati Matahari” ini: “bumi semakin mendekati matahari/ dan orang-orang di bumi semakin lenyap/ yang tersisa hanya hati, otak dan mata/ pabrik-pabrik, kapal-kapal, pesawat-pesawat/ telah lenyap...” Atau puisi berjudul “Aku Ingin Sekolah Itu Hancur” berikut ini: “aku ingin sekolah itu hancur/ aku ingin membalas kemarahan ibu guru kepadaku/ tetapi aku tidak tahu kapan waktu yang tepat/ aku ingin tidak melihat lagi ibu guru yang memarahiku/ lalu mengapa aku tidak akrab dengan pak guru?”










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook