SENGGANG MARHALIM ZAINI

Anak-anak Ajaib

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 14:41 WIB

Maka, Naya dan Tsabit, adalah “anak-anak ajaib” yang langka—atau mungkin saja ada banyak “anak-anak ajaib” yang lain, namun tak berkesempatan menemukan jalan untuk lebih mengekspresikan dirinya. Entah kebetulan entah tidak, untung saja, Naya dan Tsabit punya orang tua yang juga penulis. Orang tua yang memahami potensi anaknya, dan memfasilitasinya. Orang tua, yang memiliki kesadaran bahwa “berpuisi” itu adalah jalan untuk lebih kritis memahami diri, memahami kemanusiaan. Tapi, kadang, di sekolah mereka masih menemukan orang-orang yang menganggap “berpuisi” itu dunia yang aneh dan asing.

Bukankah misalnya, ketika kemudian si Tsabit tampak marah dalam puisinya itu, dan ia ingin sekolah itu hancur, boleh jadi karena memang ia tidak menemukan ruang yang “memadai” bagi gejolak ekspresi dirinya di sekolah. Sekolah, baginya tak lebih sebagai ruang persidangan tempat ia “diadili” dan dimarah-marahi oleh gurunya. Maka Tsabit pun menyindir, “aku memandang sekolah itu seperti aku sedang menyetir bis/ dan teman-temanku itu penumpang/ dan ibu guru sebagai pengamen memainkan gitar dan biola...”  

Rupanya, begitu pula Naya, dengan lebih lembut ia pun menulis puisi berjudul “Aku dan Guru.” Pada bait ketiga ia menulis begini; “Rumahku berwarna hijau seperti daun/ dan rumah ibu guru berwarna biru seperti langit./ Biasanya ibu guru belok kanan/ dan aku belok kiri.” Naya mungkin jujur menceritakan perbedaan-perbedaan ini: “rumah hijau” dan “rumah biru”, atau “belok kanan” dan “belok kiri.” Tetapi, apa yang dapat kita tafsir dari diksi-diksi diferensiasi semacam itu adalah, bahwa guru dan siswa selalu “berbelok di jalan yang tak sama.”***













Tuliskan Komentar anda dari account Facebook