OLEH AGUS SRI DANARDANA

Nama Rupabumi

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 00:38 WIB

Sejak diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (bersama Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Jawatan Hidro Oseanografi TNI-AL), terus melakukan inventarisasi dan validasi nama-nama rupabumi. Inventarisasi dan validasi nama-nama rupabumi itu mencakupi bidang fonologi, etimologi, dan genealogi. Hasil inventarisasi dan validasi itu kemudian dibakukan dan terbitkan dalam bentuk buku yang disebut Gasetir Nasional.

Pembakuan nama rupabumi bertujuan untuk (1) mewujudkan tertib administrasi di bidang pembakuan nama rupabumi di Indonesia; (2) menjamin tertib administrasi wilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (3) mewujudkan adanya gasetir nasional sehingga ada kesamaan mengenai nama rupabumi di Indonesia; dan (4) mewujudkan data dan informasi akurat mengenai nama rupabumi di seluruh wilayah NKRI, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun internasional. Dengan demikian, pembakuan nama rupabumi perlu segera dilakukan karena banyak nama rupabumi yang ditulis secara berbeda-beda dan tidak mengikuti aturan. Di samping itu, belakangan ini marak bermunculan penamaan rupabumi yang menggunakan bahasa asing. Kenyataan itu, jika tidak segera ditangani, tentu akan dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia dan sekaligus dapat mereduksi budaya daerah (setempat).

Baca Juga :Social Distancing

Rupabumi dapat dibedakan dalam dua jenis: rupabumi alami dan rupabumi buatan (manusia). Dengan demikian, nama rupabumi alami diberikan pada unsur-unsur rupabumi seperti gunung, bukit, sungai, teluk, selat, pulau, laut, dan danau. Sementara itu, nama rupabumi buatan manusia diberikan pada unsur-unsur rupabumi seperti bandara, pelabuhan, bendungan, jalan raya, jalan tol, kawasan pemukiman, serta kawasan administrasi (provinsi, kabupaten, kecamatan, kota, desa), kawasan cagar alam, kawasan konservasi, dan taman nasional. Keduanya (baik nama rupabumi alami maupun nama rupabumi buatan manusia) terdiri atas dua bagian: nama generik dan nama spesifik.

Dalam Permendagri Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi, antara lain, disebutkan bahwa pembakuan nama rupabumi meliputi proses penetapan dan pengesahan nama, pengejaan, penulisan, dan pengucapan. Proses tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip (1) menggunakan abjad romawi; (2) satu unsur rupabumi satu nama; (3) menggunakan nama lokal; (4) berdasarkan peraturan perundang-undangan; (5) menghormati keberadaan suku, agama, ras dan golongan; (6) menghindari penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup; (7) menggunakan bahasa lndonesia dan/atau bahasa daerah; dan (8) paling banyak tiga kata.

Atas dasar Permendagri itu, dapat diketahui bahwa pembakuan nama rupabumi ternyata bukan sekadar menetapkan dan mengesahkan nama, melainkan juga menetapkan dan mengesahkan (peng)ejaan, (pen)tulisan, dan (peng)ucapannya. Bahkan, nama pun ternyata tidak dapat diambil dari bahasa asing, tetapi harus dari bahasa Indonesia dan/atau daerah. Di samping itu, nama juga tidak boleh menyinggung SARA dan lebih dari tiga kata. Dengan demikian, pembakuan nama rupabumi tidak dapat dilakukan secara sembarangan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook