KOLOM ALINEA

“Membaca” Tanda Baca (Bagian 1)

Seni Budaya | Minggu, 13 Maret 2016 - 01:44 WIB

“Membaca”  Tanda Baca (Bagian 1)

Oleh Imelda Yance

(1) Silakan makan Ucok!

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

(2) Silakan “makan” Ucok!

(3) Silakan makan, Ucok!

Apa informasi yang diperoleh pembaca saat membaca tiga kalimat itu? Bisa jadi penafsiran setiap pembaca akan berbeda, tetapi apabila ditelisik tanda baca yang terdapat dalam kalimat tersebut, akan terdapat pemahaman yang hampir sama. Pada kalimat (1), Ucok berubah menjadi makanan (ingatan kita barangkali tertuju kepada Sumanto); ‘Ucoklah yang dimakan (dimasukkan ke mulut) oleh seseorang.’ Ucok disamakan dengan roti jala dan onde-onde misalnya. Kalimat (2) dapat dimaknai ‘Ucok akan dikuasai oleh seseorang/sekelompok orang’ (makna konotatif). Pembaca memeroleh pemahaman demikian karena penulis menandai kata makan dengan tanda petik (“...”). Pembaca paham bahwa tanda itu menandakan bahwa kata makan memiliki arti khusus (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, 2015). Sementara itu, kalimat (3) bermakna ‘Ucok yang dipersilakan untuk menyantap sesuatu.’ Apa yang terjadi apabila yang dimaksudkan oleh penulis adalah kalimat (3) tetapi yang tertulis adalah kalimat (1)? Pembaca hanya memaknainya sesuai dengan yang ditulis oleh penulis.

Sepintas memang sepele, tetapi contoh (1)—(3) setidaknya telah menunjukkan kebermaknaan tanda baca (punctuation [Inggris]), dalam hal ini tanda koma (comma) (,) dan tanda petik (quotation mark) (“...”). Tanda baca tersebut merupakan dua dari lima belas tanda baca yang terdapat dalam sistem ejaan bahasa Indonesia. Selain itu, ada tanda titik (.), titik koma (;), titik dua (:), hubung (-), pisah   (—), tanya (?), seru (!), elipsis (...), petik tunggal (‘...’), kurung ((...)),  kurung siku ([...]), garis miring (/), dan apostrof (‘). Semua tanda baca itu pun dijumpai dalam bahasa Inggris. Pemakaiannya dan maknanya pun tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam bahasa Indonesia.

Apabila ditanyakan pemakaian tanda-tanda baca itu, banyak yang mendadak puyeng. Kepuyengan itu, tampaknya, disebabkan oleh tanda-tanda baca itu (oleh sebagian kita) hanya dipahami sebatas sebagai hukum-hukum atau kaidah-kaidah yang kerap kita hafal di “luar kepala.” Walaupun begitu, kita patut bersyukur karena saat berbahasa lisan: berpidato, presentasi misalnya; kita memang tidak dipusingkan oleh tanda-tanda baca itu karena memang kehadirannya hanya dalam bahasa tulis. Oleh sebab itu, tidak perlu takut berbahasa/berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Bandingkan dengan bahasa Arab; tanda baca (harakat) dimaknai (juga) sebagai ‘tanda untuk membaca nyaring/melafalkan/mengeja.’ Kaum muslim malah wajib mempelajari tanda-tanda baca itu karena jika salah membaca, pengertian isi ayat atau bacaan Alquran pun ikut salah.

Entah karena ukurannya (yang memang kecil), tanda baca sering disepelekan oleh sebagian penulis. Banyak dosen (selaku pembaca) misalnya, yang mengeluhkan kekurangcermatan pemakaian tanda baca dalam laporan buku, makalah, skripsi, bahkan tesis dan disertasi yang ditulis oleh mahasiswa. Akibatnya, tanda baca yang pada hakikatnya membantu pembaca memahami informasi yang disampaikan melalui tulisan, justru mengaburkan pemahaman.

Kalimat penutup surat dinas (yang selama ini sering dipersoalkan perihal ketidakhadiran kata tertentu) pun masih bermasalah dalam pemakaian tanda baca walaupun unsur kalimat tersebut sudah memenuhi syarat sebagai sebuah kalimat. Mari kita cermati contoh berikut.

(4) Atas perhatian Bapak kami mengucapkan terima kasih.

(5) Atas perhatian, Bapak kami mengucapkan terima kasih.

(6) Atas perhatian Bapak kami, mengucapkan terima kasih.

(7) Atas perhatian Bapak, kami mengucapkan terima kasih.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook