PELATIHAN DAN DISKUSI SASTRA

Belajar Bersastra dari Benny Arnas

Seni Budaya | Minggu, 12 Maret 2023 - 15:54 WIB

Belajar Bersastra dari Benny Arnas
Sastrawan Benny Arnas (belakang, empat kiri), Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau Toha Machsum (belakang, lima kiri), dan Ketua Suku Seni Marhalim Zaini (belakang, tengah), foto bersama dengan para peserta diskusi dan bedah buku Dammahum di Rumah Suku Seni, Kampar, Selasa (7/3/2023) malam. (SUKU SENI UNTUK RIAU POS)

Kata Benny Arnas, omong kosong kalau seorang penulis yang tidak pernah membaca, karyanya akan berkualitas. Sebab karya kita juga sebuah cerminan dari apa yang kita baca.

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru


SASTRAWAN Benny Arnas memenuhi undangan Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR) untuk memberi materi penulisan cerpen dalam kegiatan Peningkatan Apresiasi Sastra Melalui Pelatihan Penulisan Cerpen 2023. Acara tersebut diikuti 50 peserta dari berbagai komunitas Riau di Kantor BBPR, Pekanbaru, Selasa-Rabu (7-8/3/2023).

Selain kegiatan tersebut, di waktu senggangnya, Benny juga mengadakan bedah buku kumpulan cerpen terbarunya, Dammahum, di Suku Seni, Selasa (7/3) malam; mengisi ruang literasi di MAN 1 Pekanbaru, Kamis (9/3); dan  malamnya menjadi pembicara dalam diskusi literasi di Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Riau. Di empat kegiatan tersebut, Benny memberikan motivasi kepada peserta agar terus berjuang membangun literasi –salah satunya menulis karya sastra berkualitas— karena dengan begitu juga ikut membangun generasi dengan menyediakan bahan bacaan yang juga berkualitas.

Di depan 50 peserta pelatihan cerpen di BBPR, Benny menceritakan perjalanan karirnya sebagai penulis, yang menurutnya sudah “terlambat”, yakni 25 tahun, pada 2008. Menurutnya, sebenarnya itu bukan usia yang ideal memulai menjadi seorang penulis fiksi karena banyak penulis yang melakukannya bahkan saat masih duduk di bangku SMP atau SMA. Kesadaran bahwa dia memiliki bakat menulis saat tinggal di Padang, sekian tahun setelah dia lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Andalas (Unand). Seorang temannya menyarankan agar dia menulis fiksi karena Benny adalah pembaca buku yang rajin.

Benny mengaku punya bekal yang baik untuk terjun ke dunia menulis. Dia sudah membaca buku lebih dari seribu jam. Saat kecil, dia tinggal bersama kakeknya, seorang pejuang veteran yang memiliki koleksi banyak buku di Lubuklinggau, Sumatra Selatan (Sumsel). Dari sanalah Benny membaca buku sejak kecil. Saat sudah kuliah di Padang, dia juga membaca buku-buku sastra –termasuk cerpen dan novel— yang kemudian menjadi bekalnya dalam mengurangi dunia kepenulisan tersebut. Lalu dia menulis sebuah cerpen yang dikirimnya ke Kompas, dan dimuat. Awalnya dia terkejut karena banyak orang yang kesulitan menembus media tersebut, dan dia malah bisa menembusnya dengan karya pertamanya.

“Itu kemudian membuat saya sadar bahwa kebiasaan membaca saya yang sudah sejak lama menjadi bekal dalam menulis fiksi. Maka kemudian saya yakin, omong kosong orang yang tidak membaca bisa menjadi penulis yang baik dan menghasilkan karya berkualitas,” ujar Benny.

Sejak itu, Benny menjadi salah satu cerpenis yang karyanya “susah” ditolak oleh para editor sastra di media-media arus utama di Indonesia. Dalam waktu singkat, selain di Kompas, karyanya dimuat di beberapa media besar seperti Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, dan majalah sastra Horison. Hal itu berlangsung hingga tahun 2013. Cerpen-cerpen awal Benny tersebut kemudian dibukukan dalam kumpulan cerpen Bulan Celurit Api yang diterbitkan Penerbit Koekoesan, Depok. Benny kemudian menjadi salah seorang prosais yang sangat produktif. Namun, memasuki tahun 2014, Benny kehilangan gairah dan tantangan lagi dalam menulis cerpen dan berhenti mengirimkan cerpen ke media. Setelah itu Benny banyak menulis novel seperti Bersetia, Kempunan, Cinta Tak Pernah Tua, Tanjung Luka, Jatuh dari Cinta, Ethile! Ethile!, dan lainnya.

Di saat kevakuman menulis cerpen melanda, Benny melakukan pencarian tentang bagaimana menulis yang cepat, bernas, dan terukur. Sebelumnya, di samping menulis, Benny juga membuka kelas menulis yang banyak diikuti para calon penulis dari berbagai daerah seperti Bengkulu, Curup, Musirawas, Sarolangun, Bangko, Muara Bungo, dll. Namun dia merasa materi yang diberikannya cenderung monoton, tidak fokus, dan tak lantas membantu para muridnya untuk berkembang.

Pandemi corona yang terjadi di awal tahun 2020 –di mana pertemuan kelas menulisnya otomatis juga terhenti— membuatnya melakukan “pencarian”. Dia banyak ikut kelas menulis yang dibuat oleh para penulis Indonesia –ikut dengan nama samaran--  maupun luar negeri. Sampai pada suatu hari, dia menemukan metode penulisan yang didapat dari berbagai pengalaman menulisnya yang diyakini adalah sesuatu yang dicarinya selama ini. Dia kemudian membuat formula menulis dengan nama Story by 5 pada 2020. Metode ini memungkinkan apa yang dia inginkan dalam menulis: cepat, bernas, dan terukur. Metode ini menitikberatkan pembuatan sebuah karya fiksi dengan persiapan yang maksimal. Jika persiapan sudah maksimal, maka penulisannya bisa berlangsung cepat dengan kualitas yang relatif baik.

“Sebelum memberikan kepada para penulis lain, saya sudah mencoba sendiri metode ini dan hasilnya dalam waktu cepat saya bisa menulis banyak cerpen dan novel. Terukurnya, cerpen-cepren tersebut semuanya dimuat di media arus utama dan sebuah novel yang saya tulis dengan metode itu (dengan menggunakan nama pena, red) berhasil menjadi lomba penulisan novel tingkat nasional,” ujar lelaki yang mendapat penghargaan dari berbagai perlombaan dan lembaga tersebut.

Buah dari hal itu, Benny kemudian kembali menulis cerpen dan mengirimkan ke media massa. Menariknya, pernah dalam satu akhir pekan (Sabtu-Minggu), semua media besar di Indonesia –Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, dan Republika-- memuat cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang ditulis dalam comeback-nya lalu dibukukan dalam Dammahum. Sedangkan satu novelnya yang dibuat dalam ujicoba Story by 5 dengan menggunakan nama samaran, berhasil menjadi juara lomba novel nasional bertajuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Novel itu berjudul Kayu Lapuk Membuat Kapal. Dia kemudian membuka kembali kelas menulisnya dengan pendekatan Story by 5 yang banyak diminati calon penulis, baik dari Indonesia maupun luar negeri.

Hingga tahun ini, saat usianya menginjak 40 tahun dan sudah berkarya selama 16 tahun, Benny sudah menerbitkan 30 buku dalam berbagai genre, yang sebagian besar telah diterjemahkan dalam bahasa asing, juga dialihwahanakan ke dalam film maupun pertunjukan teater. Selain novel dan cerpen, Benny juga menerbitkan buku puisi, kumpulan naskah drama, biografi, esai, dll. Dari buku-bukunya itu, Benny juga sering mendapatkan kesempatan melakukan residensi di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri seperti di Pulau Seram (Maluku), Selat Karimata (Kalimantan Barat), Bengkulu, Pakistan, Prancis, Swiss, Slovenia, Spanyol, Turki, dll. Ada 19 negara yang sudah dikunjunginya lewat program residensi yang dibiayai oleh berbagai lembaga. Mei 2023 ini dia mendapat undangan dari Atase Kebudayaan Kedutaan Besar RI di Prancis untuk menjadi pembicara sastra dan pelatihan menulis di sana.

Saat bicara dalam acara bedah bukunya, Dammahum, di Suku Seni, Benny menjelaskan bahwa seorang penulis harus punya tanggung jawab dan harus berupaya melahirkan tulisan yang berkualitas atau bermutu, dan tidak sekadar menghasilkan karya. Sebab, jika tulisan yang dihasilkan tidak bermutu baik, maka dia juga akan menjadi penulis sekadarnya.

“Saya selalu menyampaikan kepada para peserta penulisan di mana pun, bahwa menulis itu harus serius, dan bukan hanya sekadar punya karya atau buku. Dan saya tahu benar, menulis yang bermutu itu perlu kerja keras,” jelasnya Benny.

Cerpen-cerpen yang ditulis dalam buku Dammahum, kata Benny, dihasilkan dari kerja keras. 14 cerpen yang ada dalam buku tersebut semuanya saling terkait. Karakter utama di satu cerpen bisa menjadi karakter cameo di cerpen lainnya. Begitu juga, karakter protagonis di satu cerpen, bisa menjadi antagonis di cerpen lainnya. Ke-14 cerpen tersebut bisa dinikmati per cerpen, juga bisa dinikmati secara utuh sebagai sebuah karya panjang yang karakternya muncul secara acak.

“Untuk membuat cerita seperti ini tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit kalau kita tahu metode dan rumus dalam penggarapannya,” kata Benny dengan menghubungkannya pada pendekatan Story by 5 yang diciptakannya.

Kepala BBPR Toha Machsum MAg berharap kehadiran Benny dalam kegiatan yang diinisiasi lembaganya bisa dimanfaatkan oleh para peserta untuk meningkatkan kemampuannya dalam menulis cerpen karena rata-rata peserta adalah orang yang sudah pernah menulis cerpen. Dijelaskannya, BBPR merasa mendapat kehormatan dengan menyelenggarakan kegiatan seperti ini yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama dalam meningkatkan mutu penulisan fiksi/cerpen.

“Bagi kami, ini adalah sebuah kehormatan bisa mempertemukan para penulis cerpen muda (dari sisi pengalaman, red) Riau dengan Bang Benny Arnas yang sudah menerbitkan 30 buku ini. Seraplah ilmu dan pengalaman beliau agar fiksi cerpen yang kita buat bisa lebih relatif berkualitas lagi,” kata mantan Kepala Balai Bahasa Papua dan Bali ini.

Toha menjelaskan, setelah kegiatan ini, para peserta akan mendapatkan pendampingan dalam menulis cerpen dalam enam pertemuan dengan dua cerpenis Riau, salah satunya Olyrinson, setelah Idul Fitri. Oly merupakan cerpenis Riau yang juga diakui secara nasioal yang telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen, salah satunya Sebutir Peluru dalam Buku. Kata Toha lagi, masing-masing peserta nanti “diharuskan” menghasilkan satu karya terbaiknya untuk dibukukan dalam sebuah antologi. Setelah itu akan diadakan acara bedah buku bersama hasil kegiatan tersebut.

Pada bagian lain, koordinator panitia, Irwanto SPd, menjelaskan, kegiatan ini diikuti peserta lebih dari 10 komunitas taman bacaan masyarakat (TBM) yang ada di Riau. Inisiatif mendatangkan Benny juga usulan dari Ketua TBM Riau, Sutriono, yang disingkronkan dengan rancangan kegiatan yang sudah disusun oleh BBPR.

“Dan kita semua tahu bagaimana kiprah Bang Benny Arnas saat ini dalam peta sastra di Indonesia. Nyaris tak ada media arus utama yang ‘berani’ menolak cerpen-cerpennya. Beliau juga sudah menulis banyak novel, mendapatkan banyak penghargaan, dan sudah melakukan perjalanan literasi ke puluhan negara,” kata Irwanto.

Pada bagian lain, Ketua Suku Seni, Marhalim Zaini M Hum, menjelaskan, Benny salah satu sastrawan dengan profil kuat yang menjadikan lokalitas sebagai kekuatan karya-karyanya. Hampir di setiap cerpen atau novelnya, Benny menjadikan Lubuklinggau dan Musirawas, sebagai setting-nya. Di luar itu, kata Marhalim, Benny juga memiliki relasi baik dalam pergaulan sastra dan kebudayaan Indonesia. Hampir dalam kegiatan nasional yang diikutinya, dia ketemu dengan Benny Arnas.

“Saya sangat berterima kasih Suku Seni dijadikan tempat oleh Benny Arnas dalam diskusi bukunya, Dammahum, ini. Saya berharap penulis-penulis muda Riau yang hadir dalam diskusi ini bisa mengambil manfaat dari diskusi ini dan terus belajar bagaimana membuat karya yang baik,” jelas Marhalim saat diskusi di Suku Seni.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook