OLEH ALUNK ESTOHANK

Sastra Indonesia: “Krisis”

Seni Budaya | Minggu, 10 Januari 2016 - 01:07 WIB

Kemudian kenapa ada pernyataan “Negeri ini krisis kritikus sastra”. Alasannya saya kira cukup sederhana, karena tak ada karya sastra yang pantas kita baca dan dibicarakan. Karya sastra sekarang begitu mentah, tak ada dorongan magic atau setimulasi untuk menggelisahkan pembaca.

Lain perkara lagi jika kita sanding bandingkan karya sastra sekarang dengan zaman dulu: zaman Chairil Anwar, Rendra, Wiji Thukul yang memiliki suntikan besar terhadap perkembangan dan semangat bangsa.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Maka tak pelak lagi kalau sastra modern menjadi biang keladi atas segala “krisis” dalam dunia kesusastraan. Sastra modern didaulat telah mencemarkan nama baik kesusastraan dan mengubah paham yang ada dalam dunia sastra yang awalnya mempunyai spirit kebangsaan dan kemanusiaan menjadi hiburan tanpa isi. Hal ini menjadi racun paling ganas dalam dunia kesusastraan, di mana anak-anak muda saat ini hanya memiliki paham kalau sastra hanya berkisar pada persoalan cinta dan tetek bengik hiburan saja.

Di sinilah kita menemukan titik terang tentang apa yang kita sebut sebagai “krisis”. Oleh karena itu mari kita renungkan kembali meski sejenak: untuk apa karya sastra jika tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas? Setidaknya ada alasan yang lebih rasional selain melulu popularitas. Dititik ini, membaca teks sastra tidak hanya sebatas menikmati, tapi juga menyingkap makna tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, diinterpretasi sebagaimana juga ungkap Damhuri Muhammad.

Maka sebagai pembaca karya sastra saya tetap menempatkan diri sebagai penikmat, bukan kritikus dan bukan pula sastrawan. Barangkali saya salah dan mungkin juga benar berharap banyak tentang kesusastraan negeri ini, tidak sekedar mengejar uang dan popularisasi saja. Setidaknya harapan itu adalah keseriusan pihak tertentu dalam melihat perkembangan kesusastraan saat ini yang tengah mengalami “krisis”. ***

Alunk Estohank, esais tinggal di Yogyakarta.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook