KENEGERIAN PULAU GADANG, KECAMATAN XIII KOTO KAMPAR, KABUPATEN KAMPAR

Khatib Adat, Menjaga Zuriyat

Seni Budaya | Minggu, 19 September 2021 - 11:23 WIB

Khatib Adat, Menjaga Zuriyat
Ilustrasi (RIAUPOS.CO)

BAGIKAN



BACA JUGA


Orang tua Khatib Adat mamanggil siapa-siapa yang disuruh pucuk suku dua hari sebelum acara dimulai. Dipanggil juga saudara-saudara keturunan dari ayah Khatib Adat. Setelah saudara-saudara keturunan ayah dan semuanya setuju, orang tua Khatib Adat kembali menyampaikan kepada panitia bahwa anaknya sudah diizinkan. Setelah itu, dibahas bagaimana cara membawa Khatib Adat sebagai terpilih ke tempat acara atau masjid.

Persiapan-persiapan pun dimulai. Pertama, keluarga Khatib Adat menyiapkan jambau ponuoh. Jambau ini berjumlah tiga buah. Diisi kue-kue kering dengan bilangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari tiga jambau, ada satu jambau yang paling besar atau disebut induok jambau. Isi induok jambau paling banyak dari jambau lainnya. Sesuai peraturan adat, satu jambau diisi 100 piring kue atau lebih. Jambau ini terbuat dari tembaga. Usianya hampir serataus tahun. Berkaki kaki tiga. Karena itulah disebut jambau. Jika tidak berkaki, hanya disebut talam. Jambau ditutup dengan kain hiitam sesuai dengan lambang tonggue persukuan Suku  Domo yang berwarna hitam.


Selain jambau, keluarga dan panitia juga menyiapkan payung hitam dan dikiu gubano. Payung untuk memayungi calon khatib dan dikiu gubano sebagai pengiring selama arak-arakan berlangsung. Sebelum diarak, saat itulah pucuk suku dan seluruh Ninik Mamak persukuan Suku Domo bersepakat gelar apa yang akan diberikan kepada calon khatib tanpa diketahui calon khatib sendiri.

‘’Kociok  la banamo, godang dibai golau (kecil sudah bernama, besar diberi gelar). Makanya pucuk suku dan seluruh Ninik Mamak dari persukuan Suku Domo, kebetulan Khatib Adat dari Suku Domo, berembuk gelar apa yang akan diberikan kepada Khatib Adat. Ini kita sampaikan setelah khutbah selesai. Bergelarlah Khatib Asat terpilih dengan Kotik (khatib) Majo,’’ jelas Amir Ujar Datuk Paduko Simorajo.

Gelar yang diberikan kepada Khatib Adat sesuai dengan perut (bagian suku) yang ada dalam Suku Domo, yakni Domo Malin Marajo, Domo tandiko dan Domo Paduko Simarajo. Karena Khatib Adat dari bagian Suku Domo Malin Marajo, makanya ia diberi gelar Kotik Majo.

Meski Senin itu pembacaan khutbah telah usai, tapi proses Khatib Adat belum berakhir. Prosesi itu ditutup dengan buka jambau ponuoh (membuka jambau).

Buka jambau ponuoh diawali dengan kedatangan panitia dan menanyakan kepada orang tua Kotik Majo kapan jambau akan dibuka. Orang tua Khaib Adat pun bertanya kepada pucuk suku dan cerdik pandai. Biasanya, jambau dibuka antara tiga sampai lima hari setelah khutbah adat dilaksanakan. Kalau orang tua tidak memberi kabar, pucuk suku akan datang untuk menyegerakan membuka jambau. Setelah setuju dan ditetapkan waktu membuka jambau, maka acara tersebut diramaikan dengan dikiu gubano yang wajib dihadirkan khususnya untuk kotik yang baru pertama kali menjadi khatib adat.

Membuka jambau juga harus diawali dengan satu babak atau satuwunan (seturunan) dikiu gubano. Dikiu gubano adalah lagu-lagu berupa puji-pujian kepada Rasulullah dalam Bahasa Arab yang diiringi musik gubano. Grup dikiu ini minimal 5 orang dan maksimal tidak terhingga. Hal tersebut mengingat lagu-lagu dalam dikiu gubano panjang dan dengan nada tinggi. Jambau dibuka setelah satu babak dikiu gubano, berarti seluruh prosesi khatib adat telah selesai. Tapi biasanya, dikiu gubano tetap dimainkan hingga tengah malam bahkan dini hari, sesuai kesepakatan bersama.

Generasi Beradat

Lahirnya kotik (khatib) adat setiap tahun di Kenegerian Pulau Gadang menjadi harapan setiap masyarakat di sana. Kotik bukan hanya harus lebih memahami berbagai proses adat yang berlaku di kampung tapi juga menjalankan apa yang diamanahkan kepadanya setelah menjadi kotik, tapi juga memberikan contoh yang baik kepada orang lain dan teman-temannya.

‘’Kampung kami ini merupakan kampung adat. Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Semua yang dilakukan sesuai dengan adat. Banyak adat yang harus dijalankan, termasuk pelaksanaan Khatib Adat yang tidak lepas dari proses adat. Nah, orang yang menjadi khatib adat, otomatis dia mengetahui adat yang berlangsung. Adat seperti ini harus terus dijalankan agar anak-anak muda menjadi generasi yang tahu akan adat dan menjadi generasi beradat,’’ ungkap Faisal Ali Datuk Tanjalelo cerdik pandai dari persukuan Suku Pitopang Desa Koto Mesjid.

Disebutkan Datuk Tanjalelo, kegiatan Khatib Adat dilaksanakan setiap tahun di Kenegarian Pulau Gadang yang terdiri dari dua desa yakni Desa Koto Mesjid dan Desa Pulau Gadang. Kegiatan ini bukan hanya dilaksanakan di tingkat kenegerian saja, tapi juga tingkat dusun. Di Desa Koto Mesjid ada tiga dusun dan hampir setiap tahun ada kotik baru. Jika tidak ada yang terpilih, maka kotik lama yang akan kembali berkhutbah seperti sebelumnya.

Beberapa waktu lalu, Desa Koto Mesjid melahirkan tiga kotik. Masing-masing dusun menunjuk satu kotik baru. Tentu dengan gelar yang berbeda sesuai suku dan dengan segala konsekwensi yang dibebankan kepadanya. Dengan semakin banyaknya kotik yang lahir, diharapkan semakin banyak pemuda  Koto Mesjid yang tahu adat kampung dan suku mereka masing-masing.

‘’Kami berharap, adat ini tetap dijaga, dilestaraikan dan diwariskan kepada generasi penerus. Zaman terus berubah, semakin maju, tidak masalah, tapi adat tetap harus dijunjung tinggi. Jangan sampai hilang. Sayang dibuek, toguoh dijanji. Begitulah hendaknya harapan kita semua kepada kotik yang telah terpilih dan dipilih oleh masyarakat kampung ini,’’ kata Datuk Tanjalelo lagi.

 Ingat Pesan Amak

Bobo (32) adalah salah seorang pemuda yang diangkat menjadi Khatib Adat beberapa tahun lalu. Seperti pemuda lainnya, ia juga memiliki hobi dan kebiasaan yang sama, yakni hobi bermain bola kaki, main domino, duduk di simpang, pulang malam, bergadang dan hobi bernyanyi serta bermain gitar. Suaranya yang merdu saat melantunkan lagu-lagu kesayangannya, sama merdunya ketika ia membacakan khutbah adat. Tak heran jika ia juga sering menjadi juara saat perlombaan MTQ dilaksanakan di kampungnya tersebut.

Membacakan Khutbah Adat tidaklah mudah. Bobo harus belajar berminggu-minggu bahkan sebulan penuh dengan gurunya. Sebab, khutbah ini dilagukan dengan nada khusus yang mendayu. Bukan hanya harus belajar, tapi Bobo juga menerima gelar dari pucuk suku dan Ninik Mamak persukuan Suku Domo lalu diumumkan kepada seluruh masyarakat Pulau Gadang bahwa ia telah menjadi kotik dan mendapat gelar.

Tidak cukup itu saja. Bobo juga harus menjalankan konsekwensi khusus setelah dinobatkan sebagai kotik. Ia harus mau mengumandangkan azan di masjid dan surau-surau, harus mengajar ngaji, menjadi contoh yang baik bagi orang lain dan teman-temannya serta tetap harus menjaga silaturrahmi dengan masyarakat sekampung. Sudah pasti, gelar Kotik Majo yang melekat pada dirinya menjadi perisai untuk menjadi lebih baik dan mapan.

‘’Jujur, menjadi kotik itu tidak mudah. Banyak konsekwensi yang harus saya jalankan. Bukan berarti tidak boleh lagi bernyanyi, bermain gitar atau main domino. Tetap boleh, tapi harus patut. Tidak boleh lagi sembarangan. Sudah berat bagi saya duduk di simpang, apalagi saat azan. Saya sudah menjadi kotik. Sudah menerima amanat. Maka saya harus menjadi contoh. Menjadi kotik memang pilihan, tapi pesan Amak yang menjadi pendorong terkuat bagi saya. Saya ingat pesan Amak,’’ kata Bobo.

Dulu, kata Bobo, waktu almarhumah Amak –panggilan untuk ibunya- masih ada, atau sebelum tahun 2010, Amaknya pernah menanyakan kepada dirinya apakah ia mau menjadi kotik. Waktu itu Bobo belum siap. Ia berfikir masih punya waktu lebih panjang untuk membuktikan dirinya bisa menjadi kotik kepada Amaknya. Tapi Allah berkata lain. Tahun 2010, Amaknya meninggal dan ia belum sempat menjadi kotik. Kini Bobo telah terbukalah hatinya untuk menjadi kotik, bukan hanya karena dirinya sendiri, tapi juga karena keinginan orangtua yang belum sempat dikabulkannya.

Bobo kini menjalankan aktifitas sebagaimana biasa. Ia tetap berkebun dan tetap berkumpul dengan teman-temannya. ‘’Menjadi kotik itu baias saja. Banyak anak muda di sini yang menjadi kotik seperti saya. Biasa saja. Ya, dengan menjadi kotik, saya lebih terjaga. Semoga saya bisa menjadi kotik yang bisa menjalankan amanah,’’ aku Bobo lagi.***

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook