IN MEMORIAM TABRANI RAB

Obor Melayu Itu Telah Pergi

Riau | Kamis, 18 Agustus 2022 - 09:24 WIB

Obor Melayu Itu Telah Pergi
fakrunnas MA Jabbar Dosen UIR, Sastrawan dan Budayawan. (ISTIMEWA)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Postingan tentang wafatnya Prof Dr dr Tabrani Rab SpP pada Ahad, 14 Agustus 2022 pukul 19.46 WIB, di Rumah Sakit Awal Bros Sudirman Pekanbaru yang ditulis Dr Susiana Tabrani, salah seorang putri tokoh nasional asal Riau Prof Tabrani Rab itu beredar begitu cepat melalui media sosial. Ucapan duka pun saling bersahutan di berbagai grup media sosial.

Memang benar, di saat jenazah tokoh nasional asal Riau yang pernah mendeklarasikan diri sebagai Presiden Riau Merdeka mau disalatkan di Masjid At-Tabrani, Jalan Bakti, Pekanbaru usai Salat Zuhur, ratusan  jamaah tumpah-ruah. Sejumlah tokoh Riau pun berdatangan dan ikut salat sekaligus melepas kepergian tokoh terkemuka Riau tersebut saat dimakamkan tak jauh dari halaman Masjid At Tabrani di kawasan Susiana Tabrani  Convention Center yang luas itu.


Saya mengenal Pak Tabrani Rab sejak kuliah di Faperi Universitas Riau (Unri) pada 1979. Tabrani yang dokter itu  merupakan salah seorang dosen yang pernah mengajar saya dan kawan-kawan seangkatan untuk mata kuliah dasar Biokomia Umum,  Fisiologi Ikan dan beberapa matakuliah lain. Nama Tabrani sudah cukup populer pada masa itu sebagai dokter yang suka menolong orang-orang susah saat berobat di Klinik Tabrani yang kemudian berkembang menjadi RS Tabrani.

 Pendekatan Tabrani dengan pola subsidi silang. Pasien-pasien berduit yang umumnya orang Tionghoa begitu menyukai pengobatan dan pendekatan budaya Tabrani yang juga jago berbahasa Tionghoa Hokian. Umumnya orang Tionghoa itu berasal dari kampung kelahiran Tabrani yakni Bagansiapi-api (kini menjadi ibu kota Kabupaten Rokan Hilir).

Obor Melayu Tak Kunjung Padam

Kedekatan saya dengan Pak Tab -begitu sapaan akrabnya- cepat terwujud karena ia tahu bahwa saya seorang penulis sastra dan artikel  serta  sudah jadi wartawan LKBN Antara di Pekanbaru pada 1979 dalam usia yang sangat muda.

 Perbincangan-perbincangan di luar soal kuliah dengan Pak Tab sering berujung pernyataan berita yang saya naikkan jadi berita di media lokal yang terbit di Riau bahkan nasional. Apalagi sejak 1981, saya jadi koresponden majalah berita Topik (grup kelompok media Merdeka)yang didirikan tokoh pers BM Diah dan istrinya Herwati Diah. Pada 1983 saya pun juga jadi wartawan majalah Islam, Panji Masyarakat yang didirikan oleh tokoh Islam Buya Hamka.

Saya pernah menulis di 1985-an profil dr Tabrani Rab di majalah Islam terkenal itu dengan judul "Tabrani Rab: Obor Melayu yang Tak Kunjung Padam." Di mata saya spirit Islam dan Melayu dalam diri Pak Tab begitu kuatnya. Ayahnya Abdurrab bin Said merupakan seorang ulama dan pendiri Muhammadiyah di Riau. Ia juga seorang tokoh Melayu yang sangat menjunjung semangat ke-Melayuan sepanjang hidupnya. Begitu pula istrinya (ibu kandung Tabrani), Zaenab binti Syukri juga seorang tokoh perempuan Islam dan sangat Melayu. Kedua orangtuanya berasal dari Siak Sriindrapura. Tabrani lahir di  Bagansiapiapi, 30 September 1941.

Dalam kehidupan keluarga yang taat dan memegang teguh prinsip-prinsip Melayu itulah Pak Tab dididik dan dibesarkan. Jangan heran bila Pak Tab sangat peduli dengan perkembangan organisasi Islam, menghormati para ulama dan terus memperjuangkan nasib dan marwah orang-orang Melayu sepanjang usianya.

Logo RS Tabrani Rab yang dipergunakan bukan simbol Palang Merah yang lazim melainkan bulan sabit merah dengan huruf Arab yang sangat Islami. Begitu pula Pak Tab mendirikan Lembaga Studi Sosial Kebudayaan Melayu yang banyak menggelar seminar dan diskusi tentang Islam dan ke-Melayuan. Pak Tab menjadikan pujangga terkenal Indonesia, Soeman Hs sebagai ayah angkatnya dan mendukung penuh aktivitas Soeman dalam bidang sosial budaya dan ke-Islaman.

Itulah sebabnya semasa hidup Soeman, tiap tahun Pak Tab  merayakan hari jadi Soeman Hs di hotel berbintang yang dihadiri Gubernur Riau pada masa pengabdiannya masing-masing mulai Gubernur Kaharuddin Nasution, Arifin Achmad, Soebrantas, Imam Munandar, Soeripto, hingga Saleh Djasit.

Kedekatan Pak Tab dengan dunia seni-budaya tak perlu diragukan lagi dengan seringnya ia diundang menjadi pembicara dalam pertemuan budaya dan sastra internasional, kawasan serumpun Melayu dan Indonesia pada umumnya.

Konsep Culture  Shock bagi Suku Asli

Di bidang pengembangan sosial budaya di Tanah Melayu Riau, Pak Tab pernah melakukan pelatihan anak-anak Suku asli di Riau seperti Sakai, Bonai, Talangmamak, Suku Laut dan lain-lain dengan pola culture shock (keterkejutan budaya) dengan mengenalkan pada mereka secara dadakan berupa teknologi modern seperti berkeliling naik pesawat, lift, eskalator, ruang ber-AC.

"Saya berharap dengan mengalami hal-hal modernisasi secara spontan itu akan menimbulkan reaksi berpikir mereka tentang hal-hal kemudahan dalam hidup mereka. Tapi pelatihan ini gagal. Sebab dari 50 peserta tersebut hanya bersisa belasan karena mereka kabur satu-satu, tak kuat menghadapi teknologi modern tersebut," cerita Tabrani kepada saya puluhan tahun silam itu.

Tapi Pak Tab tak pernah berhenti memberikan kepedulian pada nasib suku asli di Tanah Melayu Riau ini. Bahkan salah seorang putra Sakai Muhammad Agar, terus dibimbingnya secara langsung hingga Agar menjadi anak angkat Dr Hans Kalipke -seorang ahli matematika asal Jerman yang pernah bertahun-tahun hidup bersa orang Sakai di pedalaman Kandis dan Duri, Kabupaten Bengkalis. Terakhir saya dipertemukan Pak Tab dengan Agar untuk sebuah wawancara di Pekanbaru, saat Agar pulang kampung bersama Dr Kalipke. Waktu itu Agar sedang menyelesai kuliah magisternya di Jerman. Tentu sekarang Agar sudah bergelar doktor juga sebagaimana dijanjikan Kalipke di awal 1990-an itu.

Menjadi Teman Berbincang

Setelah menamatkan kuliah pada 1985, kedekatan saya dengan Pak Tab semakin lengkap. Pak Tab bagi saya tidak hanya menjadi dosen (guru), orangtua, tokoh tapi juga sebagai teman berbincang dan curhat. Rasanya banyak sekali hal-hal yang bersifat pribadi diluahkan Pak Tab kepada saya.

Saat saya masih lajang dan tinggal bersama ayah saya, Buya Mansur Abdul Jabbar dan ibu Hj Aminsuri Wahidy, sekretaris pribadi Pak Tab Abdul Munir -yang juga teman kelas waktu SMAN 1 Bengkalis- sering datang ke rumah malam-malam untuk menjemput saya.

Sering saya ‘disandera’ Pak Tab di ruang praktik dokternya. Saya duduk di sebelah kursi pasien sambil berbincang tentang masalah sosial, budaya dan politik di sela-sela Pak Tab melayani pasien. Apabila pasiennya banyak, saya ditempatkan di kamar istirahatnya di RS Tabrani yang disuguhi buku-buku menarik, makanan dan minuman. Nanti setelah praktik dokter usai, kami pun pergi berkeliling kota atau makan malam  sambil berbincang.

Namun, saya paling sering diajak di kediaman Pak Tab di perumahan dosen Unri, Jalan Pattimura, Gobah yang kini menjadi Perpustakaan Universitas Rab. Di rumah ini pula dulunya Pak Tab mendeklarasikan Riau Merdeka yang mendapat liputan luar biasa dari media nasional dan media internasional. Saat mau dideklarasikan, Pak Tab bebar-benar menjadi incaran aparat keamanan baik kepolisian, tentara maupun para intel.

Saya masih ingat pada malam menjelang deklarasi itu, sekitar pukul 00.00 WIB, Pak Tab memanggil saya. Di rumah itu sudah puluhan mahasiswa yang umumnya aktivis HMI dan sejumlah tokoh Riau di antara cendekiawan Fauzi Kadir -kini dipercaya menjadi Ketum Partai Ummat yang juga didukung putri Tabrani dr Diana.

Suasana waktu terlihat cukup tegang. Sebab Pak Tab sangat dibidik oleh pihak keamanan terkait rencana deklarasi Riau Merdeka esok harinya. Berbagai strategi dimatangkan oleh Pak Tab bersama tim untuk mengkaji segala kemungkinan dalam menyiasati pihak aparat.

Keesokan harinya setelah mengalami 2-3 kali pindah tempat, Pak Tabrani di ruang depan kediamannya itu membacakan Deklarasi Riau Merdeka. Pak Tab tampil dalam pakaian putih-putih yang lazim dikenakan dokter. Disaksikan ratusan orang dari berbagai kalangan terutama wartawan. Seingat saya,setelah deklarasi tersebut, Pak Tab diwawancarai lewat telepon oleh sejumlah media asing.

Semangat Pak Tab dengan deklarasi Riau Merdeka itu memang diinspirasi oleh kedekatannya dengan tokoh Aceh Merdeka Dr Hasan Tiro di Swedia. Sering Pak Tab bercerita kepada saya bahwa beberapa kali di bertemu Hasan Tiro di luar negeri.

"Pesan Hasan Tiro kepada saya, kalau Pak Tab mau perjuangan Riau Merdeka itu mendapat perhatian dunia, harus martir (korban nyawa). Bawalah seribu orang dari Riau mengepung istana. Dan apabila ada korban jiwa, itulah momen penting yang menjadi puncak perjuangan. Tapi saya tak sanggup melakukannya karena yang jadi korban, rakyat Riau sendiri.," cerita Pak Tab kepada saya suatu ketika.

Dalam peristiwa 2 September 1988 yang memenangkan Ismail Suko (ayahanda Septina Primawati, mertua HM Rusli Zainal) mengalahkan Imam Munandar dalam Pilgub di DPRD Riau, Pak Tab juga ikut berperan. Ada anggota dewan H Thamrin Nasution dan belasan anggota yang lain sangat menentukan peristiwa politik yang menjadi gaduh nasional.

Setelah Terbaring Sakit

Sejak 2014  Prof Dr  Tabrani Rab terbaring sakit di rumah Dr  Susiana. Di tempat tidur, Tabrani hanya membisu. Tak bisa berkata-kata. Siapa pun kerabatnya yang datang dari kalangan tokoh negeri jiran, nasional dan Riau sendiri, Pak Tab hanya menatap. Di antara kerabat yang belum berkunjung adalah Presiden Penyair Sutardi Calzoum Bachri, Prof Alfitra Salamm dan sejumlah seniman Riau yang sengaja diundang Dr Susi untuk memberikan doa dan silaturahim antara lain Dr Husnu Abadi, A Aris Abeba, Dr Herman Rante, Tien Marni, Kunni Masrohanti dan saya sendiri serta masih banyak yang lain.

"Sudah empat tahun lebih, ayah kami terbaring kena stroke. Kami terus merawatnya sampai kapan pun. Doakan agar ayah kami kembali sehat," ucap Susiana yang didampingi adiknya dr Ivan.

Kini tokoh nasional yang cendekia­wan itu telah pergi buat selamanya. Selamat jalan, Pak Tabrani. ***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook