Kapan Pers Menjadi ’’Racun” Demokrasi?

Riau | Senin, 12 November 2018 - 11:44 WIB

Kapan Pers Menjadi ’’Racun” Demokrasi?

Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau

PADA masa Orde Baru sistem pers di Indonesia sengaja didesain seluruh pemberitaannya berpihak kepada penguasa. Bagi media yang mencoba konsisten bertahan dengan etika jurnalistiknya yang mengedapankan kejujuran dan kebenaran, dipastikan tamat riwayatnya. Suara media adalah suara pemerintah, suara pemerintah adalah suara media.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pemerintahan yang cenderung korup akan selalu memposisikan media sebagai lawan yang harus dibungkam supaya tidak menyuarakan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Perkembangan politik kemudian menunjukkan, gerakan reformasi tahun 1998 telah menjadi awal kehidupan politik yang lebih bebas, tidak terkecuali kebebasan pers.

Kebebasan pers berkembang dengan pesat malampaui ruang dan waktu. Pers diharapkan bisa memainkan fungsi dan peran yang jelas dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. Tetapi apakah dalam proses perkembangannya pers nasional sebagai institusi bisa independen atau sebaliknya menjadi pers partisan. Itulah yang menjadi menarik dikritisi dalam tulisan ini.

Dalam proses menjadi kekuatan keempat demokrasi, pers akan selalu berhadapan dengan kekuatan 3P (Penguasa, Pengusaha dan Politisi). Kerakter dan naluri alami setiap penguasa yang selalu ingin mempertahankan dan memperluas kekuasaannya pasti cenderung memanipulasi data.

Sinergis dengan naluri alami politisi yang cenderung  menggunakan segala macam cara untuk mencari dukungan. Begitu pula naluri alami setiap pengusaha yang selalu ingin mendapatkan keuntungan berlipat dan memperluas usahanya cendrung menggunakan kekuatan uang (suap atau menyogok).

Dalam konteks inilah kekuatan 3P akan selalu mendekati, mengajak, mempengaruhi dan menggiring media dengan imbalan untuk tidak memberitakan kesalahan, kecurangan dan kelicikan dalam mempertahan kekuasaannya bagi penguasa, membesarkan usahanya bagi pegusaha, mendapatkan dukungan bagi politisi.

Lalu bagaimana posisi pers Indonesia menuju Pemilu 2019? Apakah bisa konsisten menjadi pers independen tanpa berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan? Atau justru tutup mata menabrak nilai-nilai jurnalistiknya yang harus mengedepankan kejujuran, kebenaran dan keadilan dalam pemberitaan.

Sekarang tak bisa dipungkiri banyak suara-suara kritikan dari publik menyoroti posisi pers Indonesia menuju Pemilu 2019, khususnya media televisi yang cenderung tidak netral lagi pemberitaannya. Kasus-kasus yang memerlukan pemberitaan terkadang diabaikan kalau bisa merugikan penguasa.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook